Sungai sejak
dahulu kala merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat sekitarnya. Denyut
kehidupan selalu nampak disetiap aliran sungai yang bisa menyuplai atau
menyediakan kebutuhan air, makanan, penghasilan penduduk hingga jalur transportasi ini. Tak terkecuali
dengan sungai Lembok, sungai yang berada di antara Dusun Perigi dan Desa Lembok
ini masih dalam kawasan kecamatan Long ikis Kabupaten Paser. Sebagai aliran
sungai yang cukup besar *(namun belum termasuk DAS besar seperti Telake dan
Kendilo) sungai Lembok ini punya banyak kisah dan sejarah sendiri sejak zaman
dahulu kala. Kisah-kisah tersebut tentunya masih mengalir dari generasi ke
generasi pada masyarakat yang bermukim di dua kampung tersebut, mengalir
seperti aliran air sungai Lembok itu sendiri.
Para
orang tua kadang bercerita tentang sungai Lembok itu pada masa yang sangat
lampau. Entah jika dalam pelajaran sejarah hal tersebut pada zaman apa.
Cerita-cerita itu hanya terus bersambung dari generasi ke generasi. Sungai
Lembok saat itu benar-benar menyediakan kemakmuran pada penduduk sekitar.
Aliran sungai itu tak hanya menyediakan air bersih dan lauk-pauk saja namun
juga batu-batuan “Bulau” yang sangat mudah untuk ditemui. Bulau adalah sebutan
“emas” dalam bahasa suku Paser. Untuk menggambarkan betapa melimpahnya emas
saat itu di sungai Lembok itu, digambarkan bahwa isi renggap atau mata
anai-anai untuk memotong tangkai padi saat memamen itu pun dibuat dari
emas. Namun sesuatu yang berlebihan itu
memang tak akan berakhir baik. Begitu pula dengan masa kejayaan tersebut. Semua kilauan bulau tersebut dihilangkan dari
aliran sungai Lembok itu dan sampai kapanpun tak akan mudah didapatkan oleh
masyarakat lagi. Sumpah telah terucap dan tak bisa melunturkan sumpah tersebut.
Peradaban
di sekitar aliran sungai Lembok sudah tercipta sejak dahulu kala. Penduduk pribumi suku Paser sudah menetap dan
membuat pemukiman diantara aliran sungai ini. Dan entah bagaimana kisahnya kini
aliran sungai ini jadi pembatas dua Desa yakni antara Desa Lembok dan Dusun
Perigi yang masuk Desa Semuntai. Namun sistem kekerabatan penduduk asli Dusun
Perigi dengan Desa Lembok hingga kini tetap tak ada pembatasannya.
Walaupun
pemukiman penduduk berdekatan dengan aliran sungai Lembok namun penduduk saat
itu benar-benar memperlakukan sungai sebagai anugerah yang perlu dijaga. Masih
sangat segar dalam ingatanku ketika masih anak-anak yang sering diajak
mengunjungi rumah Dato*(Kakek) di Desa Lembok. Rumah panggung dengan
tiang-tiang rumah yang menjulang itu tidaklah berada tepat dipinggir sungai
melainkan ada jarak yang lumayan jauh dari bibir sungai. Sungai itu ibarat
jalan raya saat ini, jadi tak ada bagian belakang rumah yang menghadap sungai.
Sehingga tak ada comberan atau pembuangan limbah lainnya yang mengarah langsung
ke sungai. Untuk sampai ke rumah Dato memang harus menyeberangi sungai terlebih
dahulu. Sungai bisa disebrangi dengan berjalan kaki ketika tidak dalam keadaan
banjir besar atau pasang, namun jika air pasang biasanya akan memilih menyeberangnya
agak kehulu lagi karena ada batas berhenti pasang yang memang tidak terlalu
jauh.
Pinggiran sungai saat itu masih
sangat asri dengan banyak pepohonan besar khas tanaman pinggir sungai seperti
pohon temar dan lain sebagainya. Selain itu ada juga pohon pisang dan kopi yang
menyelimuti jalan setapak tepi sungai menuju rumah Dato. Sedikit kearah hulu
ada beberapa pohon Lomu besar yang biasa tempat hinggap lebah madu membuat
sarang. Pohon ini juga kadang berbuah dan beruntungnya Aku juga pernah merasakan
mencari langsung dan menikmati buah Lomu tersebut. Diantara sigapnya pohon Lomu
itu juga terselip pohon “ensom buyung” atau asam hitam yang pohonnya tak kalah
besar juga. Tepi-tepi sungai saat itu memang sangat asri dengan berbagai jenis
pepohonan yang menakjubkan.
Pohon Lomu yang ada di pinggir sungai Lembok yang masih tersisa
Ada pula sedikit kenangan indah
yang diceritakan ine’/ibuku saat masih tinggal di rumah Dato. Beliau bercerita
tentang mudahnya mendapatkan lauk-pauk dari sungai Lembok saat itu. Hanya
dengan memasang bubu yang tak lupa diberi umpan kelapa didalamnya, begitu
banyak ikan yang bisa tertangkap dalam bubu tersebut. Satu bubu saja sudah
cukup puas untuk menikmati makan dengan lauk ikan sungai air tawar.
Dari
kediaman Dato di Desa Lembok kini kita berpindah cerita menuju Dusun Perigi.
Pada pemukiman penduduk di Dusun Perigi aliran sungai Lembok ini hampir
keseluruhannya mengalami pasang surut. Hal tersebut membuat berbagi jenis
penghuni sungai itu lebih beragam lagi. Saat air pasang maka jenis-jenis ikan
yang biasa hidup di air asin akan mudah ditemui, namun jika air surut air akan
menjadi tawar kembali.
Dato (orang tua dari uma’/bapak)
juga pernah bermukim memiliki rumah yang tak jauh dari bibir sungai Lembok yang
berada di Dusun Perigi. Jarak antara rumah dengan tepi sungai itu sekitar
kurang lebih 50 meter. Jarak antara rumah dengan tepi sungai banyak ditumbuhi
beranekaragam pepohonan buah-buahan seperti, durian, langsat, munte(jeruk), dan
masih banyak yang lainnya. Pada masa itu orang tuaku menjelaskan bahwa mudahnya
memperoleh lauk-pauk dari sungai. Ketika sampai dirumah dan tak ada lauk-pauk
yang tersedia, maka cukup sekali saja menebar jala ikan, jala itu akan dipenuhi
berbagai jenis ikan dan udang. Jika ingin mendapatkan ikan yang ukurannya lebih
besar, terkadang dipasang rawai( sejenis pancingan yang memiliki mata kail yang
banyak yang dipasang sejajar) di aliran sungai yang agak dalam dan biasa
menjadi tempat ikan besar melintas dan mencari makan. Rawai biasanya dibiarkan
semalaman dan dicek pada pagi hari. Ada ikan jenis kakap dan sembelang yang
biasa didapat pada kail-kail rawai tersebut. Berbagai jenis hasil rawai
biasanya akan berlebihan jika hanya untuk sekedar lauk-pauk, terkadang sebagian
dijual untuk menghasilkan beberapa lembar uang saat itu.
Zaman
pun terus berubah, masyarakat sekitar saat itu benar-benar masih merasakan
anugerah sungai itu. Jika menginginkan udang gala bisa memancingnya, terkadang
udang gala yang besar-besar itu juga bisa didapat dengan memasang bubu. Ingin
ikan bisa menjala, rengge, pasang rawai dan memancing menggunakan ambur atau
bisa juga dengan cara menyelam menembak ikan dengan sundak. Ingin kepiting bisa
didapat dengan cara mintan atau dengan
rakang. Dan jika ingin udang rebon yang kecil-kecil itu bisa didapat dengan
cara nyodo di arus-arus aliran air diantara bebatuan pasir baras ketika air
mulai mengecil atau surut. Udang-udang kecil itu oleh masyarakat sekitar biasa
dipermentasi menjadi “Ronto” atau ada juga yang dikeringkan bahkan diolah
langsung. Hmmmm….. ronto. Makanan dengan
aroma khas ini memang favorit beberapa kalangan sejak dulu. Apalagi jika diolah
dengan campuran bawang gunung dan dinikmati dengan nasi hangat yang
dikepal-kepal. Namun ada juga sebagian orang yang tidak menyukainya karena dari
aroma khasnya tersebut. Dan bagi yang memiliki alergi udang, sudah tentu harus
berfikir dulu sebelum menikmatinya. Daripada setelah selesai memakannya
kemudian muncul jurus cakar harimau, hehehe… cakar harimau untuk
menggaruk-garuk.
Sekitar
tahun 1960-an sungai Lembok juga pernah menjadi tempat pasar apung.
Pasar apung tersebut pernah membuat Dusun Perigi sangat dikenal luas
dimata para pedagang yang berasal dari luar daerah saat itu. Pedagang dari luar
tersebut masih banyak didominasi oleh orang-orang Bajau yang berasal dari
daerah pesisir hingga ke Muara Adang. Mereka banyak membawa hasil laut mulai
dari yang masih segar maupun yang sudah berupa olahan, dari berbagai jenis ikan
hingga kerang-kerangan seperti tambi(Tudai) dan lain sebagainya yang kemudian
ditukarkan dengan hasil kebun atau ladang milik warga sekitar.
Daerah Loyu Batu
Jembatan Pipa milik Pertamina menjadi tempat penyebrangan
Kedaaan
hutan yang asri dipinggiran sungai Lembok tempo dulu juga menciptakan
keharmonisan dengan beberapa satwa di kawasan tersebut. Pohon-pohon buah yang
tumbuh memayungi aliran sungai itu memang menjadi daya tarik bagi binatang apa
saja yang hendak mencari makan ke tempat tersebut. Saat itu setiap pagi kita bisa mendengarkan
suara kelawot (uwa-uwa) yang mendayu-dayu membuka mengawali pagi. Ada sebuah
kedamaian ketenangan batin yang dapat dirasakan saat masih bisa mendengarkan
suara satwa-satwa seperti itu dilingkungan rumah kita sendiri. Bukan suara dari
balik kekangan sebuah kandang namun suara yang memang berasal dari alam yang
sesungguhnya.
Sungai
Lembok memang sering mengalami banjir. Hal tersebut biasa terjadi saat musim
penghujan tiba. Beberapa kesempatan juga pernah terjadi banjir yang besar
hingga meluap dari aliran sungai. Daerah dataran rendah yang dulu digunakan
sebagai area persawahan pun menjadi terendam oleh air yang berwarna keruh itu.
Keruh, ya itulah yang menjadi pertanda jika sungai Lembok sedang banjir saat
itu. walaupun debit airnya masih setengah dari badan sungai jika warnanya sudah
keruh, maka warga sekitar pasti mengatakannya banjir. Orang Paser menyebutnya
“owa tenga tengkiwang” yang artinya banjirnya masih setengah dari badan sungai.
Apalagi jika airnya sudah meluap keluar dari aliran sungai, hal itulah yang
dikatakan “owa olai” atau banjir besar.
Banjir besar
biasanya bisa terjadi karena beberapa hal yakni, pertama terjadi karena di hulu
sungai terjadi hujan yang sangat deras dalam waktu yang lama. Hulu dari sungai
Lembok memang memiliki cabang yang banyak, sehingga akan menyuplai debit air
yang sangat besar menuju hilirnya. Namun banjir akan lebih cepat lagi meluap
jika disaat bersamaan dari hilir sedang ada air pasang yang sedang naik. Walaupun
debit air yang dikirim dari hulu tidak terlalu besar, tetap saja akan
menciptakan banjir besar juga. Dan apabila debit air sangat besar dari hulu
kemudian dikomposisikan dengan air pasang dari hilir, waaahhh…. Area persawahan
akan terlihat seperti sungai Kendilo yang warnanya selalu keruh itu. walaupun
sungai itu kadang banjir besar amun tak pernah sampai membuat bencana besar
bagi penduduk sekitar. Jika banjir besar dari pagi kadang tengah hari juga
sudah tidak sampai meluap lagi. Bagi sungai Lembok banjir dengan air berwarna
keruh itu bak ritual pembersih diri. Setelah banjir air akan kembali jernih dan
bersih, akan ada ribuan kubik pasir dan koral baru yang terbawa dari hulu dan
mengendap didasar sungai. Berbagai jenis organisme akan memulai kehidupan baru
menikmati keadaan lingkungan yang baru tersebut.
Keadaan air
sungai Lembok yang masih bersih merupakan berkah bagi masyarakat sekitar, tak
terkecuali bagi anak-anak saat itu. Sungai Lembok merupakan salah satu arena
bermain favorit bagi anak-anak. Disungai itu mereka bisa mandi dan bermain
sepuas-puasnya tanpa membayar sepeser Rupiah pun. Terkadang hingga mata memerah
dan jari-jari tangan mengkerut keriput. tak ayal hal tersebut terkadang membuat
para orang tua berang saat anak mereka sudah tiba di rumah masing-masing.
Hehehe… mau bagaimana lagi, sebagai anak-anak yang lahir dan dibesarkan
dilingkungan kampung seperti itu, tak ada kegiatan lagi yang bisa membuat
mereka senang kecuali bercengkrama dengan alam. Dan sebenarnya lingkungan alam
juga membentuk mereka menjadi anak-anak yang tangguh, tangguh dalam berkawan
dan terkadang sebagian juga tangguh dalam menerima amarah ceramah dari orang
tua karena terlalu banyak bermain disungai hingga lupa waktu, hehehe… selain itu juga anak-anak pandai berenang, kreatif
dalam menciptakan berbagai permaian bersumber dari alam dan lain sebagainya.
Dan menurutku, ketika anak-anak tersebut sangat menyukai bahkan mencintai alam
tempat ia bermain, maka ia tak akan rela jika tempat bermainnya itu menjadi
rusak sampai kapan pun.
Semakin
tahun ketahun kini wajah sungai Lembok terus berubah. Sisi kanan dan kiri sudah
mulai terbuka dan digantikan perkebunan kelapa sawit. Bentuk alirannya pun terus berubah-ubah.
Kuatnya terjangan arus air saat banjir besar serta mulai berkurangnya
pohon-pohon penyangga pinggiran sungai membuat tepi-tepi sungai mengalami pengikisan tanah
dalam waktu yang cepat. Hal tersebut juga berakibat tumbangnya beberapa pohon
besar yang ada ditepi sungai. Akar kuat dengan tubuh kokoh menjulang pun
akhirnya takluk dengan air yang terus menggerus pertahanan akarnya. Seperti
yang terjadi pada pohon Lomu yang sangat besar yang berada tepat dipinggir
sungai Lembok. Bertahun-tahun lamanya pohon itu menjadi maskot sebagai yang
terbesar di kawasan itu. Pasak-pasak yang menancap erat ditubuhnya
mengisyaratkan bahwa pohon itu telah menghasilkan banyak madu dari sarang lebah
yang selalu hinggap di dahannya. Puncaknya yakni pada suatu pagi buta dimana
masyarakat Dusun Perigi dikejutkan oleh suara dentuman keras yang dibarengi
dengan getaran bumi yang lumayan dahsyat. Pohon Lomu itu tumbang dengan arah
melintang diatas aliran air sungai Lembok itu. Setelah pohon itu tumbang,
nampak jelas ada bentuk kehidupan lain yang juga ikut mati. Sarang burung elang
yang hancur dan tak ada tanda-tanda selamat untuk anak-anaknya yang masih kecil
saat itu. Sebelumnya burung elang memang sering bersarang dicabang-cabang dahan
pohon tersebut. Ribuan pasukan lebah
madu pun akhirnya harus merelakan tempat yang biasa mereka singgahi untuk
bersarang, selain itu juga kondisi hutan yang berubah menjadi perkebunan kelapa
sawit juga membuat para lebah madu benar-benar pergi dari kawasan itu. Lunglai
lambaian putus asa dari daun-daun anggrek yang terkoyak-koyak berserakan
diantara dahan-dahan yang patah.
Tunggul batang pohon aren yang ditebang. Menandakan sudah beralihnya mata pencarian dari menyadap nira aren ke perkebunan kelapa sawit.
Kenangan-kenangan
masa lalu tentang sungai Lembok sepertinya mulai tersamarkan oleh beberapa perubahan
yang berlaku. Masyarakat sekitar pun mulai merasakan hal-hal yang kurang baik
sedang berlaku pada sungai tersebut. Saat masuknya perusahaan tambang nikel
yang berada di hulu sungai, terkadang warna air menjadi keruh pekat bahkan
hampir memerah. Hal tersebut memang tidak terjadi setiap hari, ada waktu-waktu
tertentu saja. Dan bersyukurnya perusahaan di hulu sungai itu tak berumur
panjang dan kemudian tidak beroperasi lagi.
Air sungai Lembok terlihat sangat keruh yang tak biasa, padahal tidak ada terjadi hujan dengan intensitas besar.
Perubahan
tingkat ekonomi dan pola gaya hidup masyarakat suatu daerah tersebut juga
mempengaruhi pola pikir dan gaya pandang beberapa orang pada sungai. Dahulu
sungai dipandang sebagai sumber kehidupan dan patut dijaga keberadaannya kini
mulai dipandang sebagai tong sampah raksasa bagi sebagian orang. Begitu banyak
sampah-sampah mulai tebar pesona di aliran sungai itu, sehingga air pun menjadi
sangat kotor dengan menjijikan. Hal tersebut pernah membuatku tidak jadi mandi
disungai tersebut. Kebetulan saat itu musim kemarau dan belum ada air PDAM yang
mengalir kerumah-rumah. Aku dan ine’ pergi mandi ke aliran sungai Lembok bagian
hulu dari jembatan itu dengan tujuan agar mendapatkan air yang masih tawar
karena belum terkena air pasang dari hilir. Setelah tiba ditempat tujuan aku
hanya mengidik dan mengelengkan kepala, melihat sebuah rumah dengan bagian
belakang rumahnya yang menghadap langsung tepat di tepi sungai. Terlihat jelas
aliran limbah rumah tangga yang mengalir langsung menuju sungai yang tepat
dibawahnya. Disamping itu juga terlihat menumpuk sampah-sampah kemasan yang
berada di tepi sungai tepat dibelakang rumah tersebut.
Jiwa rasanya
mengkerut dan menciut jatuh kedalam sebuah ruang yang gelap dan pengap.
Bagaimana jika rumah seperti itu berdiri lebih banyak lagi ditepi-tepi sungai
yang kucintai ini. Kecemasan itu muncul karena Aku tak ingin sungai ini kelak
menjadi seperti sungai-sungai yang ada di kota-kota besar yang tak terurus dan
seperti memang sengaja menjadi tempat pembuangan. Dan Aku yakin semua warga di
sekitar sungai tersebut juga tak menginginkan hal tersebut terjadi.
Hal senada
juga pernah diutarakan oleh seorang warga Dusun Perigi yang profesi
kesehariannya adalah sebagai nelayan pencari ikan. Di bawah rimbunnya pohon
temar di tepi sungai beliau menceritakan beberapa pengalamannya saat menyusuri
sungai Lembok ini hingga olong atau muaranya. Menurutnya sungai ini memang
sudah mulai kotor. Banyak sekali sampah-sampah yang dibuang kesungai ini dalam
berbagai bentuk dan jenis. Mulai dari berbagai jenis sampah plastik, kotoran
atau limbah pemotongan ayam pedaging hingga bangkai binatang seperti bangkai
anjing, kucing. Seburuk ini kah perlakuan manusia zaman sekarang pada anjing
dan kucing yang mati. Padahal pandangan yang selalu melekat pada masyarakat sejak dulu adalah jika binatang
seperti anjing dan kucing itu mati maka lebih baik jika dikuburkan bukan malah
membuangnya kesungai. Setelah terbiasa membuang bangkai binatang kesungai,
jangan-jangan selanjutnya juga bangkai manusia yang dibuang kesungai tersebut.
Hal tersebut memang bisa saja terjadi karena prilaku sifat kemanusiaan
seseorang itu sudah berubah atau hilang.
Beberapa sampah mulai tebar pesona dan terlihat diatas pasir dan pinggiran sungai ketika air surut.
Lanjut
beliau, pemasok sampah kesungai Lembok itu juga banyak berasal dari beberapa
orang yang sengaja membuang sampah dari atas jembatan Lembok tersebut.
Terkadang ada pedagang pasar yang sengaja membuang sampah sisa penjualannya di
pasar dari atas jembatan itu. Dulu banyak orang membuang sampah di suatu tempat
yang berada di jalan masuk Tajur melalui simpang empat Pait, namun sampah yang
menumpuk itu kemudian diprotes warga sekitar hingga akhirnya ditutup. Selain
ditempat itu dulu juga ada pembuangan sampah di jalan belakang masjid Al-hijrah
Lembok berdekatan dengan Benteng, karena lahan yang dipakai adalah milik warga
akhirnya diprotes juga oleh pemilik lahannya. Diduga karena belum adanya tempat
pembuangan akhir yang menaungi wilayah kecamatan Long ikis ini membuat banyak
yang membuang sampah disembarang tempat, seperti sungai dan lahan milik warga.
Jembatan Sei Lembok
Penampakan aliran sungai Lembok yang dilihat dari atas jembatan
Bapak
dua anak yang gemar bereko*(Bercanda) ini mengatakan
bahwa sungai Lembok ini masih terselamatkan sedikit karena adanya banjir dan
air pasang surut yang melarutkan semua sampah-sampah itu ke hilir. Namun jika
terus menerus seperti itu bukan tidak mungkin lagi jika anak-anak sungai di
hilir dipenuhi oleh sampah dan mencemari habitat perairan tersebut. Sebagai
contoh saja kini saat mencari kerang “telagi” kita akan sangat terganggu oleh
sampah-sampah yang mengambang dan mengendap di dasar sungai Lembok. Jika terus
begini, kedepannya bisa-bisa kita juga merasa jijik mengkonsumsi telagi
tersebut. -_-
Kegiatan mencari kerang telagi, kegiatan ini biasanya dilakukan saat air sedang surut.
Rona
cahaya sang surya ternyata sudah mulai meredup diufuk barat. Kami pun
mengakhiri perbincangan hari itu dan langsung pulang kerumah masing-masing.
Walaupun kami berpisah pada jalan setapak yang berbeda menuju rumah
masing-masing namun jika sungai ini memanggil, kami punya jalan yang
berbeda-beda itu yang ujungnya sama-sama menyatu menuju sungai tersebut.
Zaman
memang terus berubah begitu pula dengan semua yang ada disekitar kita.
Lingkungan kita, pola pikir kita, perekonomian bahkan kepadatan penduduk. Namun
perubahan itu jangan sampai ikut merubah sifat baik kita menjadi buruk. Jangan
sampai zaman menggenggam kita namun kita lah yang harus menggenggam zaman itu.
Jika kelak dusun Perigi dan dusun Maso(Lembok) ini terus berkembang dan
memperluas daerah pemukimannya, semoga selalu menjaga dan memelihara sungai
yang membelah dua kampung tersebut. Jangan pernah lupa bahwa cikal bakal awal
terbentuknya perkampungan disekitar sungai tersebut adalah karena aliran sungai
inilah yang pertama kali menemukan daerah itu sehingga dijadikan
pemukiman. Elok kah jika kita harus
merusak wajahnya yang banyak berukirkan sejarah kisah masa lalu itu. Jangan
sampai kita meminum dan menggunakan air bagian hulunya dan kemudian menjadikan
hilirnya sebagai tampungan sampah kita. Hal itu sama saja seperti kita
mengharapkan sebuah hasil dari satu pokok kelapa sawit tanpa kita merawat dan
memupuknya. Sudah diketahui kan bagaimana hasilnya, begitu pula dengan sungai
yang selalu kita harapkan kebaikannya bagi hidup kita namun kita tak pernah
memberi kebaikan pula padanya, malah memberikan keburukan.
Sampai
saat ini sungai Lembok memang masih sangat banyak memberi manfaat kebaikan
untuk warga sekitar. Kita masih bisa menerima pasokan air dari bendungan PDAM
yang dapat dinikmati dirumah-rumah warga. Ketika air surut biasanya ada
beberapa warga yang mencari telagi sekedar untuk lauk-pauk. Ada juga yang
mengeruk pasir atau koral sungai yang kemudian dijual. Pada saat kemarau
panjang tiba, akan ada banyak yang membawa jala untuk mencari udang yang sedang
naik karena air asin sudah masuk ke daerah sungai. Pada saat-saat tertentu
entah siang maupun malam, kadang ada yang memancing ikan dari tepi sungai.
Bahkan dulu saat kemarau lumayan panjang ada fenomena saat ikan-ikan air asin
sudah mulai masuk hingga daerah jembatan, banyak yang memanfaatkannya untuk
memancing dari atas jembatan itu saat malam hari. Manfaat kebaikan sungai
tersebut yang tak kalah pentingnya adalah hingga saat ini menjadi jalur
transportasi warga yang hendak pergi kearah muara. Bukan hanya warga sekitar
yang punya hobi melaut atau mencari ikan, udang, kepiting dan lain sebagainya
itu, namun banyak pula orang-orang dari luar kampung sekitar sungai tersebut
yang sengaja menambatkan perahu mesinnya di tepian-tepian milik warga sekitar.
Bendungan Sungai Lembok yang berada di Desa Lembok Kecamatan Long ikis
Tanaman biowo banyak ditemukan diarea perkebunan warga yang berada disekitar sungai Lembok
Bukti bahwa warga disekitar sungai Lembok mempunyai tradisi adat budaya yang masih melekat
Perahu-perahu bermesin milik penduduk sekitar yang sedang tambat di tepian sungai Lembok.
Taruk Paku. tanamn ini dapat dijumpai dibeberapa empat di tepi-tepi sungai Lembok. Lumayan buat sayur.
Nah, sepertinya semalam ada yang sedang mancing disini. Bara apinya pun masih terasa hangat.
Pada pinggiran sungai biasanya ada tanaman yang disebut teberaw. batang tanaman ini mirip tebu tapi tidak memiliki kandungan air seperti layaknya batang tebu pada umumnya. Tanaman ini sangat berguna untuk mempertahankan tanah ditepi-tepi sungai dari pengikisan arus air sungai.
Penampakan aliran sunagi Lembok. semakin ke hulu aliran airnya terlihat semakin dangkal.
Melihat
beberapa manfaat kebaikan tersebut tak salah memang jika kita menyebutkan bahwa
sungai itu sumber kehidupan. Sumber dimana kita bisa mendapatkan berbagai hal
yang bisa menyokong kelangsungan hidup kita. Bisa kita bayangkan bagaimana jika
penyebutan itu telah berubah menjadi sungai “sumber kematian”. Disanalah sumber dari berbagai hal yang buruk,
mulai dari berbagai penyakit hingga kematian.
Tulisan
ini pun bukan bermaksud menghakimi mereka-mereka yang telah melakukan kesalahan
seperti yang dijelaskan tadi. Namun disini kita bisa menyikapinya bersama-sama,
apa yang harus diperbuat, bagaimana seharusnya dan lain sebagainya. Peran serta
semua lapisan masyarakat sangat diperlukan disini, bukan hanya perindividu
maupun golongan saja. Bukan hanya milik orang Paser saja, bukan pula tanggung
jawab para orang tua saja dan bukan kewajiban bagi generasi muda saja, tapi
semua punya peran masing-masing yang berhulu satu yakni untuk sungai Lembok
yang lebih baik. ^_^
“Mari kita mulai membayar semua kebaikan yang
sudah kita terima”