Friday, November 13, 2015

Khasiat Akar Tembelekar (Obat Tradisional Paser)



Menjaga kesehatan merupakan salah satu aset penting bagi hidup kita. Dapat kita bayangkan bagaimana jika kesehatan kita sedang terganggu, entah itu karena penyakit ringan maupun berat. Penyakit ringan pun kadang membuat kita sulit berkonsentrasi pada pekerjaan yang sedang kita lakukan. Kadang malah berujung pada pekerjaan yang tak kelar atau terbengkalai, apalagi jika diserang dengan penyakit yang lebih berat.
     Dalam kehidupan sehari-hari kita biasanya sering mengalami beberapa gangguan kesehatan berupa penyakit yang dikatakan ringan namun lumayan membuat tersiksa para penderitanya. Seperti penyakit flu, pilek, batuk kering maupun berdahak yang sering dialami pada saat-saat tertentu atau musim tertentu. Pada awalnya biasanya beberapa penyakit tersebut banyak yang tak menghiraukannya, karena mungkin masih menganggap hanya penyakit ringan yang sering datang saat musimnya tiba. Namun saat penyakit tersebut tak kunjung-kunjung sembuh walaupun sudah mengkonsumsi obat-obatan di warung, disitulah ia mulai merasa sedih. -_-
        Bebicara mengenai penanganan penyakit tersebut sebenarnya memang banyak cara yang bisa kita pilih. Mulai dari mengkonsumsi obat, berobat langsung ke klinik maupun puskesmas, atau bisa juga memilih beberapa obat herbal yang bisa diambil dari lingkungan sekitar kita. Mengenai obat herbal, orang Paser juga memilki banyak resep turun-temurun dalam mengobati beberapa penyakit. Beberapa bahan obat-obatan herbal itu biasanya berupa akar-akaran, kulit batang, daun, bahkan buah dari suatu tumbuhan yang khasiatnya sudah terpercaya sejak dahulu kala. Tumbuhan berkhasiat sebagai obat itu  diantaranya adalah “Tembelekar”.
        Tumbuhan tembelekar ini biasanya tumbuh liar di area perkebunan masyarakat. Bentuknya seperti semak belukar dengan batang seperti sulur pada bagian ujung mudanya. Bagian dari tumbuhan ini yang sering digunakan sebagi obat adalah bagian akarnya. Akar tembelekar ini berwarna orange terang kekuningan.
 Tumbuhan Tembelekar yang biasa ditemui di area perkebunan maupun dalam hutan

Akar tembelekar

Proses pembuatan akar tembelekar menjadi obat pun sangat mudah dilakukan. Kita hanya menyiapkan akar tembelekar yang sudah dicuci bersih. Akar kemudian dipotong-potong sesuai yang kita inginkan agar muat dimasukkan didalam gelas atau cangkir. Biasanya sebagian orang menggunakan air panas atau hangat untuk merendam akar tersebut dan kemudian didiamkan sejenak, lalu diminum. Namun resep dari ine’/ibu saya, lebih memilih menggunakan air minum biasa untuk merendam akar tembelekar tersebut. Biasanya direndam didalam gelas atau cangkir yang berukuran lebih besar, agar bisa diminum berulang-ulang. Dan jika air mulai habis, bisa ditambah lagi dengan air minum biasa tadi. Perbedaannya kata beliau adalah jika menggunakan air hangat atau panas harus diminum habis seketika, jika tidak rasa air akan terasa seperti basi. Jika menggunakan air minum biasanya bisa diminum sesuka kita dan tak akan ada rasa basi saat diminum beberapa jam kemudian. Ramuan-ramuan yang direndam dalam air ini yang kemudian diminum biasanya disebut “Tawas”. Bahan-bahannya pun beranekaragam sesuai tujuan untuk mengobati penyakitnya.
 Seorang anak sedang mencuci akar tembelakar

Bagimana rasanya ?, mungkin Anda penasaran sekali bagaimana rasa dari rendaman akar tembelekar ini. Rasanya ya seperti rasa akar kayu yang direndam. Hehe..*(ya iyalah) namun ketika kita meletakkan gelas pada bibir saat hendak meminum akan ada aroma khas dari ramuan itu yang menyeruak ke indera penciuman kita dan membuat sedikit rilek.
 Akar tembelekar ini dipercaya mampu mengobati penyakit flu, pilek, disertai batuk berdahak maupun kering. Pada beberpa orang menggunakan akar tembelekar ini karena saat semua obat-obatan warung sudah tak mampu menyembuhkan. Namun ada juga yang memang masih teguh selalu menggunakan obat-obatan herbal dari alam untuk menjaga tradisi dari orang tua terdahulu tetap terpelihara hingga kapan pun. Dan demi menghindari ketergantungan pada obat-obatan yang umum diperjual-belikan di masyarakat.


*Semoga artikel ini dapat menambah wawasan Anda. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste / menyebar-luaskan artikel ini, namun Anda harus menyertakan link hidup dari artikel ini sebagai sumbernya. Mohon kerjasamanya dalam sedikit menghargai hasil karya dari Penulis.
Tabe....

Saturday, November 7, 2015

Kelindan Pontis



Suatu pagi yang sangat cerah. Aku tengah bersiap-siap berangkat sekolah. Waktu itu Aku memang masih kelas empat sekolah dasar. Ketika hendak berangkat Aku baru teringat bahwa hari itu harus membawa benang dan jarum jahit. Setiap siswa harus membawanya untuk keperluan mata pelajaran kesenian atau muatan lokal saat itu. Karena tergesa-gesa, akhirnya Aku langsung saja membawa sebuah kempu atau wadah dari bekas minyak rambut yang biasanya menjadi tempat peralatan menjahit ine’/ibuku.
         Pagi itu Aku tiba di sekolah yang saat itu masih bernama SDN 019 Perigi Kampung Semuntai dengan selamat dan tanpa terlambat. Saat mata pelajaran muatan lokal dimulai, semua siswa mengeluarkan peralatan (benang+jarum) masing-masing. Dan sepertinya hanya saya  yang membawa peralatan paling lengkap. Dan ternyata kempu yang ku letakkan diatas meja itu membuat penasaran seorang Guru yang sedang berdiri didekat pintu kelas. Beliau kemudian menghampiri sembari memegang, membuka dan memperhatikan isi kempu yang ku bawa.
        “Ibu mu penjahit yah?” Tanya beliau.
kalau anak-anak zaman sekarang pasti jawabnya, “iya kok tahu?”. Dan kemudian berlanjut dengan percakapan gombal-gombalan itu.. -_-
     “Bukan penjahit sih Pak, tapi kadang memang sering menjahit sekedar untuk keperluan sendiri” Terangku.
Ternyata Beliau bertanya demikian karena melihat lilin yang ada didalam kempu tersebut. Beliau kemudian melanjutkan bahwa biasanya memang pernah melihat perlengkapan menjahit yang berguna untuk mengeraskan benang dan bahannya hampir seperti lilin. Namun bukan lilin seperti yang dipakai seperti sekarang.
        Dari penjelasan itu Aku menangkap kemungkinan yang dimaksud Beliau adalah “Kelindan”. Biasanya ine’/ibu ku memang selalu melengkapi isi kempu itu dengan kelindan, namun pada saat itu ternyata klindan yang dimaksud hilang entah kemana. Jadi ibuku berinisiatif mengguanakan lilin biasa, walaupun hasilnya tak sesempurna penggunaan kelindan yang asli.
Kelindan terbuat dari sarang lebah madu
        Kelindan terbuat dari sarang lebah madu yang sudah tak digunakan. Sarang madu yang sudah tak memiliki madu ini biasanya disebut dengan “Pontis” biasanya bisa dibuat lilin dan kelindan. Kelindan sangat berguna untuk mengeraskan benang agar benar tak mudah kusut. Selain itu benang yang sudah dikelindan akan mudah untuk dimasukkan kedalam lubang jarum jahit. Cara menggunakan kelindan pun sangat lah mudah. Benang yang ingin kita gunakan tinggal digesek-gesekkan ke permukaan kelindan, maka benang akan berubah menjadi keras.

Kelindan dan benang jahit

Cara menggunakan kelindan agar benang menjadi keras dan mudah untuk dimasukkan ke lubang jarum 

Benang yang belum di kelindan

Benang yang sudah di kelindan, benang menjadi sedikit kaku dan mengeras sehingga tidak mudah kusut

Kegiatan mengunakan kelindan untuk mengeraskan benang tersebut disebut dengan "ngelindan". Melihat dari kegunaannya, maka tak heran jika orang Paser selalu memiliki kelindan dalam kempu/wadah peralatan jahit menjahit mereka. 

*Semoga artikel ini dapat menambah wawasan Anda. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste / menyebar-luaskan artikel ini, namun Anda harus menyertakan link hidup dari artikel ini sebagai sumbernya. Mohon kerjasamanya dalam sedikit menghargai hasil karya dari Penulis.
Tabe....


Wednesday, November 4, 2015

ASAL-USUL NAMA DESA SEMUNTAI


Semuntai adalah nama sebuah Desa yang berada di Kecamatan Long ikis Kabupaten Paser. Seperti nama-nama kampung di wilayah Paser kebanyakan, nama dari wilayah tersebut biasanya mengambil nama dari sungai yang berada didaerah tersebut. Begitu pula dengan nama Desa Semuntai yang diambil dari nama sungai Semuntai.

        Pada awal mulanya, sungai Semuntai tidak memiliki nama seperti sekarang. Pada zaman dahulu daerah itu lebih dikenal dengan nama “Selang”. Selang sendiri berasal dari nama anak sungai yang juga bermuara pada sungai Semuntai saat ini. Selain infomasi yang didapat dari penduduk setempat, nama daerah tersebut lebih dikenal dengan Selang bisa dibuktikan dari beberapa penuturan  saksi sejarah yang pada zaman dahulu sudah melakukan perdagangan di wilayah sungai tersebut. Para pedagang itu lebih cepat mengenal nama “Selang” ketimbang nama “Semuntai”.
Jika kita melihat sejarah lebih jauh lagi, di daerah Semuntai sekarang ini dahulu juga ada dikenal nama daerah yang disebut dengan "Padang Kero". Di tempat tersebut pula dahulu pernah ada atau berdiri kerajaan dengan nama yang sama (Padang Kero) yang pernah dibangun oleh orang Paser pada masa lampau.

        Kembali pada nama sungai Semuntai. Dahulu kala daratan ditepi-tepi sungai tersebut sangat banyak pohon buah “Munte”. Munte sendiri adalah bahasa suku Paser untuk menyebut jeruk/limau dengan jenis tertentu. Buah Munte yang ada didaerah sungai tersebut sangat terkenal manis-manis dan bagus-bagus buahnya. Hal tersebut membuat banyak warga sekitar maupun dari kampung sebelah yang mengambil, mengumpulkan atau meramu buah Munte tersebut. Kegiatan mengambil/mengumpulkan/meramu buah Munte itu  dalam bahasa Paser disebut “Semunte”.
Jadi ketika sseorang hendak ketempat tersebut dan ditanya oleh orang yang berbeda, kira-kira percakapannya sebagai berikut;
        Ma’ Liot : “Kakan po mone iko?” (mau kemana kamu?)
        Ropa      : “ Kakan po semunte”. (mau mencari/meramu munte)
dengan mengatakan kata “Semunte” tersebut, pasti pahamlah orang bahwa ia akan pergi ketempat yang sekarang dinamakan “Semuntai” itu. Akhirnya lama-kelamaan nama sungai didaerah itu disebut atang semunte atau sungai semunte.
   Buah Munte

Pada perkembangannya daerah tersebut mulai berkembang menjadi daerah pemukiman penduduk yang lebih luas. Banyak para pendatang dari luar daerah yang juga bermukim di daerah itu . dan hal itu juga berpengaruh pada penyebutan “Semunte” menjadi “Semuntai” bahkan ada yang menyebut “Samuntai”.
        Demikianlah asal-usul nama Desa Semuntai yang dihimpun dari keterangan penduduk lokal dan sumber lain yang melengkapi. Nama Desa Semuntai pada awalnya memang bernama “Semunte”.   


*Semoga artikel ini dapat menambah wawasan Anda. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste / menyebar-luaskan artikel ini, namun Anda harus menyertakan link hidup dari artikel ini sebagai sumbernya. Mohon kerjasamanya dalam sedikit menghargai hasil karya dari Penulis.
Tabe....

Monday, September 21, 2015

Sungai Lembok Riwayat Mu Kini


Sungai sejak dahulu kala merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat sekitarnya. Denyut kehidupan selalu nampak disetiap aliran sungai yang bisa menyuplai atau menyediakan kebutuhan air, makanan, penghasilan penduduk  hingga jalur transportasi ini. Tak terkecuali dengan sungai Lembok, sungai yang berada di antara Dusun Perigi dan Desa Lembok ini masih dalam kawasan kecamatan Long ikis Kabupaten Paser. Sebagai aliran sungai yang cukup besar *(namun belum termasuk DAS besar seperti Telake dan Kendilo) sungai Lembok ini punya banyak kisah dan sejarah sendiri sejak zaman dahulu kala. Kisah-kisah tersebut tentunya masih mengalir dari generasi ke generasi pada masyarakat yang bermukim di dua kampung tersebut, mengalir seperti aliran air sungai Lembok itu sendiri. 

        Para orang tua kadang bercerita tentang sungai Lembok itu pada masa yang sangat lampau. Entah jika dalam pelajaran sejarah hal tersebut pada zaman apa. Cerita-cerita itu hanya terus bersambung dari generasi ke generasi. Sungai Lembok saat itu benar-benar menyediakan kemakmuran pada penduduk sekitar. Aliran sungai itu tak hanya menyediakan air bersih dan lauk-pauk saja namun juga batu-batuan “Bulau” yang sangat mudah untuk ditemui. Bulau adalah sebutan “emas” dalam bahasa suku Paser. Untuk menggambarkan betapa melimpahnya emas saat itu di sungai Lembok itu, digambarkan bahwa isi renggap atau mata anai-anai untuk memotong tangkai padi saat memamen itu pun dibuat dari emas.  Namun sesuatu yang berlebihan itu memang tak akan berakhir baik. Begitu pula dengan masa kejayaan tersebut.  Semua kilauan bulau tersebut dihilangkan dari aliran sungai Lembok itu dan sampai kapanpun tak akan mudah didapatkan oleh masyarakat lagi. Sumpah telah terucap dan tak bisa melunturkan sumpah tersebut. 
        Peradaban di sekitar aliran sungai Lembok sudah tercipta sejak dahulu kala.  Penduduk pribumi suku Paser sudah menetap dan membuat pemukiman diantara aliran sungai ini. Dan entah bagaimana kisahnya kini aliran sungai ini jadi pembatas dua Desa yakni antara Desa Lembok dan Dusun Perigi yang masuk Desa Semuntai. Namun sistem kekerabatan penduduk asli Dusun Perigi dengan Desa Lembok hingga kini tetap tak ada pembatasannya.
Walaupun pemukiman penduduk berdekatan dengan aliran sungai Lembok namun penduduk saat itu benar-benar memperlakukan sungai sebagai anugerah yang perlu dijaga. Masih sangat segar dalam ingatanku ketika masih anak-anak yang sering diajak mengunjungi rumah Dato*(Kakek) di Desa Lembok. Rumah panggung dengan tiang-tiang rumah yang menjulang itu tidaklah berada tepat dipinggir sungai melainkan ada jarak yang lumayan jauh dari bibir sungai. Sungai itu ibarat jalan raya saat ini, jadi tak ada bagian belakang rumah yang menghadap sungai. Sehingga tak ada comberan atau pembuangan limbah lainnya yang mengarah langsung ke sungai. Untuk sampai ke rumah Dato memang harus menyeberangi sungai terlebih dahulu. Sungai bisa disebrangi dengan berjalan kaki ketika tidak dalam keadaan banjir besar atau pasang, namun jika air pasang biasanya akan memilih menyeberangnya agak kehulu lagi karena ada batas berhenti pasang yang memang tidak terlalu jauh.
Pinggiran sungai saat itu masih sangat asri dengan banyak pepohonan besar khas tanaman pinggir sungai seperti pohon temar dan lain sebagainya. Selain itu ada juga pohon pisang dan kopi yang menyelimuti jalan setapak tepi sungai menuju rumah Dato. Sedikit kearah hulu ada beberapa pohon Lomu besar yang biasa tempat hinggap lebah madu membuat sarang. Pohon ini juga kadang berbuah dan beruntungnya Aku juga pernah merasakan mencari langsung dan menikmati buah Lomu tersebut. Diantara sigapnya pohon Lomu itu juga terselip pohon “ensom buyung” atau asam hitam yang pohonnya tak kalah besar juga. Tepi-tepi sungai saat itu memang sangat asri dengan berbagai jenis pepohonan yang menakjubkan. 
 Pohon Lomu yang ada di pinggir sungai Lembok yang masih tersisa

Ada pula sedikit kenangan indah yang diceritakan ine’/ibuku saat masih tinggal di rumah Dato. Beliau bercerita tentang mudahnya mendapatkan lauk-pauk dari sungai Lembok saat itu. Hanya dengan memasang bubu yang tak lupa diberi umpan kelapa didalamnya, begitu banyak ikan yang bisa tertangkap dalam bubu tersebut. Satu bubu saja sudah cukup puas untuk menikmati makan dengan lauk ikan sungai air tawar.
        Dari kediaman Dato di Desa Lembok kini kita berpindah cerita menuju Dusun Perigi. Pada pemukiman penduduk di Dusun Perigi aliran sungai Lembok ini hampir keseluruhannya mengalami pasang surut. Hal tersebut membuat berbagi jenis penghuni sungai itu lebih beragam lagi. Saat air pasang maka jenis-jenis ikan yang biasa hidup di air asin akan mudah ditemui, namun jika air surut air akan menjadi tawar kembali. 
Dato (orang tua dari uma’/bapak) juga pernah bermukim memiliki rumah yang tak jauh dari bibir sungai Lembok yang berada di Dusun Perigi. Jarak antara rumah dengan tepi sungai itu sekitar kurang lebih 50 meter. Jarak antara rumah dengan tepi sungai banyak ditumbuhi beranekaragam pepohonan buah-buahan seperti, durian, langsat, munte(jeruk), dan masih banyak yang lainnya. Pada masa itu orang tuaku menjelaskan bahwa mudahnya memperoleh lauk-pauk dari sungai. Ketika sampai dirumah dan tak ada lauk-pauk yang tersedia, maka cukup sekali saja menebar jala ikan, jala itu akan dipenuhi berbagai jenis ikan dan udang. Jika ingin mendapatkan ikan yang ukurannya lebih besar, terkadang dipasang rawai( sejenis pancingan yang memiliki mata kail yang banyak yang dipasang sejajar) di aliran sungai yang agak dalam dan biasa menjadi tempat ikan besar melintas dan mencari makan. Rawai biasanya dibiarkan semalaman dan dicek pada pagi hari. Ada ikan jenis kakap dan sembelang yang biasa didapat pada kail-kail rawai tersebut. Berbagai jenis hasil rawai biasanya akan berlebihan jika hanya untuk sekedar lauk-pauk, terkadang sebagian dijual untuk menghasilkan beberapa lembar uang saat itu.
        Zaman pun terus berubah, masyarakat sekitar saat itu benar-benar masih merasakan anugerah sungai itu. Jika menginginkan udang gala bisa memancingnya, terkadang udang gala yang besar-besar itu juga bisa didapat dengan memasang bubu. Ingin ikan bisa menjala, rengge, pasang rawai dan memancing menggunakan ambur atau bisa juga dengan cara menyelam menembak ikan dengan sundak. Ingin kepiting bisa didapat dengan cara  mintan atau dengan rakang. Dan jika ingin udang rebon yang kecil-kecil itu bisa didapat dengan cara nyodo di arus-arus aliran air diantara bebatuan pasir baras ketika air mulai mengecil atau surut. Udang-udang kecil itu oleh masyarakat sekitar biasa dipermentasi menjadi “Ronto” atau ada juga yang dikeringkan bahkan diolah langsung.  Hmmmm….. ronto. Makanan dengan aroma khas ini memang favorit beberapa kalangan sejak dulu. Apalagi jika diolah dengan campuran bawang gunung dan dinikmati dengan nasi hangat yang dikepal-kepal. Namun ada juga sebagian orang yang tidak menyukainya karena dari aroma khasnya tersebut. Dan bagi yang memiliki alergi udang, sudah tentu harus berfikir dulu sebelum menikmatinya. Daripada setelah selesai memakannya kemudian muncul jurus cakar harimau, hehehe… cakar harimau untuk menggaruk-garuk.
        Sekitar tahun 1960-an sungai Lembok juga pernah menjadi tempat pasar apung.  Pasar apung tersebut pernah membuat Dusun Perigi sangat dikenal luas dimata para pedagang yang berasal dari luar daerah saat itu. Pedagang dari luar tersebut masih banyak didominasi oleh orang-orang Bajau yang berasal dari daerah pesisir hingga ke Muara Adang. Mereka banyak membawa hasil laut mulai dari yang masih segar maupun yang sudah berupa olahan, dari berbagai jenis ikan hingga kerang-kerangan seperti tambi(Tudai) dan lain sebagainya yang kemudian ditukarkan dengan hasil kebun atau ladang milik warga sekitar. 


Daerah Loyu Batu 
   

    Jembatan Pipa milik Pertamina menjadi tempat penyebrangan

Kedaaan hutan yang asri dipinggiran sungai Lembok tempo dulu juga menciptakan keharmonisan dengan beberapa satwa di kawasan tersebut. Pohon-pohon buah yang tumbuh memayungi aliran sungai itu memang menjadi daya tarik bagi binatang apa saja yang hendak mencari makan ke tempat tersebut.  Saat itu setiap pagi kita bisa mendengarkan suara kelawot (uwa-uwa) yang mendayu-dayu membuka mengawali pagi. Ada sebuah kedamaian ketenangan batin yang dapat dirasakan saat masih bisa mendengarkan suara satwa-satwa seperti itu dilingkungan rumah kita sendiri. Bukan suara dari balik kekangan sebuah kandang namun suara yang memang berasal dari alam yang sesungguhnya.
        Sungai Lembok memang sering mengalami banjir. Hal tersebut biasa terjadi saat musim penghujan tiba. Beberapa kesempatan juga pernah terjadi banjir yang besar hingga meluap dari aliran sungai. Daerah dataran rendah yang dulu digunakan sebagai area persawahan pun menjadi terendam oleh air yang berwarna keruh itu. Keruh, ya itulah yang menjadi pertanda jika sungai Lembok sedang banjir saat itu. walaupun debit airnya masih setengah dari badan sungai jika warnanya sudah keruh, maka warga sekitar pasti mengatakannya banjir. Orang Paser menyebutnya “owa tenga tengkiwang” yang artinya banjirnya masih setengah dari badan sungai. Apalagi jika airnya sudah meluap keluar dari aliran sungai, hal itulah yang dikatakan “owa olai” atau banjir besar.
Banjir besar biasanya bisa terjadi karena beberapa hal yakni, pertama terjadi karena di hulu sungai terjadi hujan yang sangat deras dalam waktu yang lama. Hulu dari sungai Lembok memang memiliki cabang yang banyak, sehingga akan menyuplai debit air yang sangat besar menuju hilirnya. Namun banjir akan lebih cepat lagi meluap jika disaat bersamaan dari hilir sedang ada air pasang yang sedang naik. Walaupun debit air yang dikirim dari hulu tidak terlalu besar, tetap saja akan menciptakan banjir besar juga. Dan apabila debit air sangat besar dari hulu kemudian dikomposisikan dengan air pasang dari hilir, waaahhh…. Area persawahan akan terlihat seperti sungai Kendilo yang warnanya selalu keruh itu. walaupun sungai itu kadang banjir besar amun tak pernah sampai membuat bencana besar bagi penduduk sekitar. Jika banjir besar dari pagi kadang tengah hari juga sudah tidak sampai meluap lagi. Bagi sungai Lembok banjir dengan air berwarna keruh itu bak ritual pembersih diri. Setelah banjir air akan kembali jernih dan bersih, akan ada ribuan kubik pasir dan koral baru yang terbawa dari hulu dan mengendap didasar sungai. Berbagai jenis organisme akan memulai kehidupan baru menikmati keadaan lingkungan yang baru tersebut.
Keadaan air sungai Lembok yang masih bersih merupakan berkah bagi masyarakat sekitar, tak terkecuali bagi anak-anak saat itu. Sungai Lembok merupakan salah satu arena bermain favorit bagi anak-anak. Disungai itu mereka bisa mandi dan bermain sepuas-puasnya tanpa membayar sepeser Rupiah pun. Terkadang hingga mata memerah dan jari-jari tangan mengkerut keriput. tak ayal hal tersebut terkadang membuat para orang tua berang saat anak mereka sudah tiba di rumah masing-masing. Hehehe… mau bagaimana lagi, sebagai anak-anak yang lahir dan dibesarkan dilingkungan kampung seperti itu, tak ada kegiatan lagi yang bisa membuat mereka senang kecuali bercengkrama dengan alam. Dan sebenarnya lingkungan alam juga membentuk mereka menjadi anak-anak yang tangguh, tangguh dalam berkawan dan terkadang sebagian juga tangguh dalam menerima amarah ceramah dari orang tua karena terlalu banyak bermain disungai hingga lupa waktu, hehehe…  selain itu juga anak-anak pandai berenang, kreatif dalam menciptakan berbagai permaian bersumber dari alam dan lain sebagainya. Dan menurutku, ketika anak-anak tersebut sangat menyukai bahkan mencintai alam tempat ia bermain, maka ia tak akan rela jika tempat bermainnya itu menjadi rusak sampai kapan pun.  
        Semakin tahun ketahun kini wajah sungai Lembok terus berubah. Sisi kanan dan kiri sudah mulai terbuka dan digantikan perkebunan kelapa sawit.  Bentuk alirannya pun terus berubah-ubah. Kuatnya terjangan arus air saat banjir besar serta mulai berkurangnya pohon-pohon penyangga pinggiran sungai membuat tepi-tepi sungai mengalami pengikisan tanah dalam waktu yang cepat. Hal tersebut juga berakibat tumbangnya beberapa pohon besar yang ada ditepi sungai. Akar kuat dengan tubuh kokoh menjulang pun akhirnya takluk dengan air yang terus menggerus pertahanan akarnya. Seperti yang terjadi pada pohon Lomu yang sangat besar yang berada tepat dipinggir sungai Lembok. Bertahun-tahun lamanya pohon itu menjadi maskot sebagai yang terbesar di kawasan itu. Pasak-pasak yang menancap erat ditubuhnya mengisyaratkan bahwa pohon itu telah menghasilkan banyak madu dari sarang lebah yang selalu hinggap di dahannya. Puncaknya yakni pada suatu pagi buta dimana masyarakat Dusun Perigi dikejutkan oleh suara dentuman keras yang dibarengi dengan getaran bumi yang lumayan dahsyat. Pohon Lomu itu tumbang dengan arah melintang diatas aliran air sungai Lembok itu. Setelah pohon itu tumbang, nampak jelas ada bentuk kehidupan lain yang juga ikut mati. Sarang burung elang yang hancur dan tak ada tanda-tanda selamat untuk anak-anaknya yang masih kecil saat itu. Sebelumnya burung elang memang sering bersarang dicabang-cabang dahan pohon tersebut.  Ribuan pasukan lebah madu pun akhirnya harus merelakan tempat yang biasa mereka singgahi untuk bersarang, selain itu juga kondisi hutan yang berubah menjadi perkebunan kelapa sawit juga membuat para lebah madu benar-benar pergi dari kawasan itu. Lunglai lambaian putus asa dari daun-daun anggrek yang terkoyak-koyak berserakan diantara dahan-dahan yang patah.
 Tunggul batang pohon aren yang ditebang. Menandakan sudah beralihnya mata pencarian dari menyadap nira aren ke perkebunan kelapa sawit.

        Kenangan-kenangan masa lalu tentang sungai Lembok sepertinya mulai tersamarkan oleh beberapa perubahan yang berlaku. Masyarakat sekitar pun mulai merasakan hal-hal yang kurang baik sedang berlaku pada sungai tersebut. Saat masuknya perusahaan tambang nikel yang berada di hulu sungai, terkadang warna air menjadi keruh pekat bahkan hampir memerah. Hal tersebut memang tidak terjadi setiap hari, ada waktu-waktu tertentu saja. Dan bersyukurnya perusahaan di hulu sungai itu tak berumur panjang dan kemudian tidak beroperasi lagi. 
 Air sungai Lembok terlihat sangat keruh yang tak biasa, padahal tidak ada terjadi hujan dengan intensitas besar.

        Perubahan tingkat ekonomi dan pola gaya hidup masyarakat suatu daerah tersebut juga mempengaruhi pola pikir dan gaya pandang beberapa orang pada sungai. Dahulu sungai dipandang sebagai sumber kehidupan dan patut dijaga keberadaannya kini mulai dipandang sebagai tong sampah raksasa bagi sebagian orang. Begitu banyak sampah-sampah mulai tebar pesona di aliran sungai itu, sehingga air pun menjadi sangat kotor dengan menjijikan. Hal tersebut pernah membuatku tidak jadi mandi disungai tersebut. Kebetulan saat itu musim kemarau dan belum ada air PDAM yang mengalir kerumah-rumah. Aku dan ine’ pergi mandi ke aliran sungai Lembok bagian hulu dari jembatan itu dengan tujuan agar mendapatkan air yang masih tawar karena belum terkena air pasang dari hilir. Setelah tiba ditempat tujuan aku hanya mengidik dan mengelengkan kepala, melihat sebuah rumah dengan bagian belakang rumahnya yang menghadap langsung tepat di tepi sungai. Terlihat jelas aliran limbah rumah tangga yang mengalir langsung menuju sungai yang tepat dibawahnya. Disamping itu juga terlihat menumpuk sampah-sampah kemasan yang berada di tepi sungai tepat dibelakang rumah tersebut.
Jiwa rasanya mengkerut dan menciut jatuh kedalam sebuah ruang yang gelap dan pengap. Bagaimana jika rumah seperti itu berdiri lebih banyak lagi ditepi-tepi sungai yang kucintai ini. Kecemasan itu muncul karena Aku tak ingin sungai ini kelak menjadi seperti sungai-sungai yang ada di kota-kota besar yang tak terurus dan seperti memang sengaja menjadi tempat pembuangan. Dan Aku yakin semua warga di sekitar sungai tersebut juga tak menginginkan hal tersebut terjadi.
Hal senada juga pernah diutarakan oleh seorang warga Dusun Perigi yang profesi kesehariannya adalah sebagai nelayan pencari ikan. Di bawah rimbunnya pohon temar di tepi sungai beliau menceritakan beberapa pengalamannya saat menyusuri sungai Lembok ini hingga olong atau muaranya. Menurutnya sungai ini memang sudah mulai kotor. Banyak sekali sampah-sampah yang dibuang kesungai ini dalam berbagai bentuk dan jenis. Mulai dari berbagai jenis sampah plastik, kotoran atau limbah pemotongan ayam pedaging hingga bangkai binatang seperti bangkai anjing, kucing. Seburuk ini kah perlakuan manusia zaman sekarang pada anjing dan kucing yang mati. Padahal pandangan yang selalu melekat pada  masyarakat sejak dulu adalah jika binatang seperti anjing dan kucing itu mati maka lebih baik jika dikuburkan bukan malah membuangnya kesungai. Setelah terbiasa membuang bangkai binatang kesungai, jangan-jangan selanjutnya juga bangkai manusia yang dibuang kesungai tersebut. Hal tersebut memang bisa saja terjadi karena prilaku sifat kemanusiaan seseorang itu sudah berubah atau hilang.  

 Beberapa sampah mulai tebar pesona dan terlihat diatas pasir dan pinggiran sungai ketika air surut.

        Lanjut beliau, pemasok sampah kesungai Lembok itu juga banyak berasal dari beberapa orang yang sengaja membuang sampah dari atas jembatan Lembok tersebut. Terkadang ada pedagang pasar yang sengaja membuang sampah sisa penjualannya di pasar dari atas jembatan itu. Dulu banyak orang membuang sampah di suatu tempat yang berada di jalan masuk Tajur melalui simpang empat Pait, namun sampah yang menumpuk itu kemudian diprotes warga sekitar hingga akhirnya ditutup. Selain ditempat itu dulu juga ada pembuangan sampah di jalan belakang masjid Al-hijrah Lembok berdekatan dengan Benteng, karena lahan yang dipakai adalah milik warga akhirnya diprotes juga oleh pemilik lahannya. Diduga karena belum adanya tempat pembuangan akhir yang menaungi wilayah kecamatan Long ikis ini membuat banyak yang membuang sampah disembarang tempat, seperti sungai dan lahan milik warga. 

 Jembatan Sei Lembok


Penampakan aliran sungai Lembok yang dilihat dari atas jembatan

        Bapak dua anak yang gemar bereko*(Bercanda) ini mengatakan bahwa sungai Lembok ini masih terselamatkan sedikit karena adanya banjir dan air pasang surut yang melarutkan semua sampah-sampah itu ke hilir. Namun jika terus menerus seperti itu bukan tidak mungkin lagi jika anak-anak sungai di hilir dipenuhi oleh sampah dan mencemari habitat perairan tersebut. Sebagai contoh saja kini saat mencari kerang “telagi” kita akan sangat terganggu oleh sampah-sampah yang mengambang dan mengendap di dasar sungai Lembok. Jika terus begini, kedepannya bisa-bisa kita juga merasa jijik mengkonsumsi telagi tersebut. -_-
 Kegiatan mencari kerang telagi, kegiatan ini biasanya dilakukan saat air sedang surut.


        Rona cahaya sang surya ternyata sudah mulai meredup diufuk barat. Kami pun mengakhiri perbincangan hari itu dan langsung pulang kerumah masing-masing. Walaupun kami berpisah pada jalan setapak yang berbeda menuju rumah masing-masing namun jika sungai ini memanggil, kami punya jalan yang berbeda-beda itu yang ujungnya sama-sama menyatu menuju sungai tersebut. 
        Zaman memang terus berubah begitu pula dengan semua yang ada disekitar kita. Lingkungan kita, pola pikir kita, perekonomian bahkan kepadatan penduduk. Namun perubahan itu jangan sampai ikut merubah sifat baik kita menjadi buruk. Jangan sampai zaman menggenggam kita namun kita lah yang harus menggenggam zaman itu. Jika kelak dusun Perigi dan dusun Maso(Lembok) ini terus berkembang dan memperluas daerah pemukimannya, semoga selalu menjaga dan memelihara sungai yang membelah dua kampung tersebut. Jangan pernah lupa bahwa cikal bakal awal terbentuknya perkampungan disekitar sungai tersebut adalah karena aliran sungai inilah yang pertama kali menemukan daerah itu sehingga dijadikan pemukiman.  Elok kah jika kita harus merusak wajahnya yang banyak berukirkan sejarah kisah masa lalu itu. Jangan sampai kita meminum dan menggunakan air bagian hulunya dan kemudian menjadikan hilirnya sebagai tampungan sampah kita. Hal itu sama saja seperti kita mengharapkan sebuah hasil dari satu pokok kelapa sawit tanpa kita merawat dan memupuknya. Sudah diketahui kan bagaimana hasilnya, begitu pula dengan sungai yang selalu kita harapkan kebaikannya bagi hidup kita namun kita tak pernah memberi kebaikan pula padanya, malah memberikan keburukan.
        Sampai saat ini sungai Lembok memang masih sangat banyak memberi manfaat kebaikan untuk warga sekitar. Kita masih bisa menerima pasokan air dari bendungan PDAM yang dapat dinikmati dirumah-rumah warga. Ketika air surut biasanya ada beberapa warga yang mencari telagi sekedar untuk lauk-pauk. Ada juga yang mengeruk pasir atau koral sungai yang kemudian dijual. Pada saat kemarau panjang tiba, akan ada banyak yang membawa jala untuk mencari udang yang sedang naik karena air asin sudah masuk ke daerah sungai. Pada saat-saat tertentu entah siang maupun malam, kadang ada yang memancing ikan dari tepi sungai. Bahkan dulu saat kemarau lumayan panjang ada fenomena saat ikan-ikan air asin sudah mulai masuk hingga daerah jembatan, banyak yang memanfaatkannya untuk memancing dari atas jembatan itu saat malam hari. Manfaat kebaikan sungai tersebut yang tak kalah pentingnya adalah hingga saat ini menjadi jalur transportasi warga yang hendak pergi kearah muara. Bukan hanya warga sekitar yang punya hobi melaut atau mencari ikan, udang, kepiting dan lain sebagainya itu, namun banyak pula orang-orang dari luar kampung sekitar sungai tersebut yang sengaja menambatkan perahu mesinnya di tepian-tepian milik warga sekitar. 



 Bendungan Sungai Lembok yang berada di Desa Lembok Kecamatan Long ikis

Tanaman biowo banyak ditemukan diarea perkebunan warga yang berada disekitar sungai Lembok

Bukti bahwa warga disekitar sungai Lembok mempunyai tradisi adat budaya yang masih melekat




Perahu-perahu bermesin milik penduduk sekitar yang sedang tambat di tepian sungai Lembok.

Taruk Paku. tanamn ini dapat dijumpai dibeberapa empat di tepi-tepi sungai Lembok. Lumayan buat sayur.

Nah, sepertinya semalam ada yang sedang mancing disini. Bara apinya pun masih terasa hangat.

Pada pinggiran sungai biasanya ada tanaman yang disebut teberaw. batang tanaman ini mirip tebu tapi tidak memiliki kandungan air seperti layaknya batang tebu pada umumnya. Tanaman ini sangat berguna untuk mempertahankan tanah ditepi-tepi sungai dari pengikisan arus air sungai.









Penampakan aliran sunagi Lembok. semakin ke hulu aliran airnya terlihat semakin dangkal.


Melihat beberapa manfaat kebaikan tersebut tak salah memang jika kita menyebutkan bahwa sungai itu sumber kehidupan. Sumber dimana kita bisa mendapatkan berbagai hal yang bisa menyokong kelangsungan hidup kita. Bisa kita bayangkan bagaimana jika penyebutan itu telah berubah menjadi sungai “sumber kematian”. Disanalah sumber dari berbagai hal yang buruk, mulai dari berbagai penyakit hingga kematian.
        Tulisan ini pun bukan bermaksud menghakimi mereka-mereka yang telah melakukan kesalahan seperti yang dijelaskan tadi. Namun disini kita bisa menyikapinya bersama-sama, apa yang harus diperbuat, bagaimana seharusnya dan lain sebagainya. Peran serta semua lapisan masyarakat sangat diperlukan disini, bukan hanya perindividu maupun golongan saja. Bukan hanya milik orang Paser saja, bukan pula tanggung jawab para orang tua saja dan bukan kewajiban bagi generasi muda saja, tapi semua punya peran masing-masing yang berhulu satu yakni untuk sungai Lembok yang lebih baik. ^_^

        Mari kita mulai membayar semua kebaikan yang sudah kita terima