Memancing ke Muara
Lembok.
Hari Sabtu 10/08/2013, suasana lebaran
idul fitri masih sangat terasa. Karena baru dua hari yang lalu umat muslim
merayakannya. Dan seperti biasanya, hari-hari setelah idul fitri banyak
dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk berpergian, entah bersilahturahmi
mengunjungi sanak keluarga yang jauh ataupun hanya sekedar bersilaturahmi
dengan pantai atau tempat-tempat rekreasi lainnya yang biasanya sangat ramai
dikunjungi selepas hari lebaran.
Tak berbeda
cerita denganku, setelah hari jum’atnya aku lampiaskan untuk bersilaturahmi
maka pada hari sabtunya aku berencana untuk memancing dimuara Lembok (Olong
Lembok). Sebenarnya munculnya rencana tersebut tak lain karena hasil
silaturahmiku pada hari jumatnya, kebetulan aku sedang bersilaturahmi ke rumah uda/pamanku
yang berada di dusun maso desa Lembok kecamatan long ikis. Beliau mengutarakan
padaku bahwa esoknya akan pergi memancing, dan sontak beberapa lampu menyala
diatas kepalaku.
“Hahahahhaa..... kesempatan neh,
kebetulan esoknya aku masih tak punya tujuan kemana akan pergi” kataku dalam
hati.
Akupun mulai mengeluarkan jurus-jurus
merengek agar bisa ikut, berguling-guling, dan yang terakhir adalah jurus mata
sayu milik meog sikucing yang meminta belas kasian. Namun tanpa sempat aku mengeluarkan
kesemua jurus itu, udaku sudah mempersilahkan aku untuk ikut.
“Yeeeeeeeeeessssssssssssss......!!!!!”
aku guling-guling kegirangan dalam hati saja.
Pada dari
sabtu pukul 09.21 pagi, aku sudah mempersiapkan segala kebutuhan untuk
memancing. Namun ada sesuatu yang berbeda dengan diriku saat itu sejak pagi,
yaa.... ada sesuatu yang selalu mengawasi gerak-gerikku sejak pagi tadi.
Seorang anak laki-laki yang masih kecil yang mengaku baru kelas tiga SD inilah
yang terus mengawasiku dari tadi. Dia keponakanku sebut saja namanya ikie, anak
laki-laki tulen katanya tapi saat kecilnya sangat takut pada kupu-kupu dan
menyukai warna pink ini terkadang memiliki pemikiran yang sangat briliant namun
selalu menjadi objek pelampiasan adiknya yang selalu memberi perintah-perintah
yang super extream, sungguh tragis sekali nasibnya.
Ikie masih saja
mengawasi gerak gerikku. Aku pergi kedapur ia juga mengikutiku dari jauh
dibelakang. Kini aku merasa seperti seorang teroris dengan banyak bom dibalik
mantelku yang terus diawasi oleh agen mata-mata amatiran dari arah belakangku.
Agen mata-mata itu tak lain adalah Ikie, menggunakan kacamata berwarna pink
sembari memegang sesuatu disaku celananya yang ku yakini itu pasti sebuah sisir
berwarna pink yang sangat mematikan. Kemungkinan efek dari sisir tersebut
adalah membuat tidur pulas korbannya hingga tiga hari tiga malam.
“Benar-benar
senjata yang berbahaya, beruntung hanya dalam hayalan saja” ucapku sembari
geleng-geleng kepala.
Diluar khayalanku
Ikie masih saja mengikuti kemanapun aku berada, keteras bawah, kedapur lagi, ke
kamar mandi, ke toilet.
“Upss... ini toilet.....!!!!! sana-sana...!!! ngak usah ikut” teriakku sambil
mengusir pergi Ikie.
“Oh iya paman,.. baiklah, jika aku ikut kedalam aku pasti tidak selamat”kata
Ikie sembari pergi dari tempat itu.
Tak berapa lama aku kemudian keluar dari
bilik tempat melepas kesulitan itu, saat aku keluar ternyata Ikie masih duduk
menungguku di ruang dapur.
“Paman..... paman mancing kah hari ini?” tanya Ikie.
“Yaa... kenapa emangnya, pasti mau ikut?”sambungku.
“Ikuuuuuuuuuuuuuuuuuuutttt,.....paman ikut yah”rengek Ikie.
Kasian bercampur iba juga aku melihat
keponakanku satu ini. Hanya dia yang tak bisa ikut bertamasya ke tanjung Jumlai
(Penajam Paser Utara) lebaran tahun ini. Berbeda dengan ponakan-ponkanku yang
lainnya yang sudah dalam perjalanan semua. Sudah menjadi kebiasaan tahunan
jika setelah hari lebaran pasti berbondong-bondong orang mengerumuni
tempat-tempat rekreasi, tak terkecuali di kampungku. Tempat paling terlaris
dikunjungi adalah pantai tanjung jumlai. Tahun ini Ikie tidak bisa ikut
bertamasya karena keadaan yang kurang memungkinkan ditambah dato dan nenenya
juga tak punya rencana untuk bertamasya.
Akhirnya Ikie melihat cahaya yang sangat
berseri-seri dari wajahku, tangan kananku memegang pundaknya. Efek cahaya dari
arah belakangku semakin terang saja hingga Ikie mencoba menghalangi dengan
tangannya namun semua sia-sia. Diantara terang benderang efek cahaya itu aku
berkata;
“Ikie,..... ikutlah bersama paman” kataku dengan merdu
“Baik
paman, terima kasih paman” kata Ikie yang kini menggunakan kacamata pinknya
untuk menghalangi efek-efek cahaya yang membuat aku mirip malaikat seperti di
pilem-pilem.
“Okeh, langkah pertama kalau Ikie mau ikut mancing harus izin dulu sama ayah
Ikie”pintaku.
“Iya paman”sambung Ikie semangat.
Ikie pun pergi untuk minta izin pada ayah
dan ibunya, sementara aku melanjutkan aktivitas kekamar mandi.
“Mau mandi dulu”.
Setelah
selesai melaksanakan adegan basah-basahan dikamar mandi dan telah berpakaian
lengkap, aku segera melanjutkan mempersiapkan perlengkapan memancingku. Harus
membuat satu lagi pancingan untuk Ikie. Terpaksa aku harus memodifikasi
pancingan yang bisa kugunakan diair tawar menjadi pancingan yang memiliki
kerekan riil. gandar stick pancingnya bisa dipasang kerekan untuk menarik
ulurkan senar pancingnya. Walaupun rencananya kerekan/ riilnya hanya dari botol
bekas minuman ringan.
Dalam waktu bersamaan Ikie sudah muncul
dengan penampilan yan sudah siap pergi, bertopi, baju lengan panjang dan celana
panjang juga, ternyata Ikie sudah mendapat izin untuk pergi.
Sambil terus mengunyah-nguyah makanan
ringan Ikie terus mengawasiku saat membuat alat pancing untuknya. Kebetulan
Ebet juga sudah datang dan mulai juga mempersiapkan pancingannya. Kami
sama-sama mengerjakannya di teras samping rumah.
“Paman....,
aku pake pancing apa” Tanya Ikie sembari mengunyah makanan dalam mulutnya.
“Ini
sudah paman buatin spesial buat Ikie” Jawabku.
“Yeaaaaaaaaaaaaaaaa..............!!!”
Girang Ikie.
Aku pun melanjutkan membuat pancingan
itu. Menggulung beberapa kawat agar bisa menjadi tempat senar/tali pancing yang
dilanjutkan menempelkannya pada gandar pancing. Setelah beberapa menit
kemudian, dengan sedikit usaha yang keras dan terkadang mengalami sedikit
hambatan akhirnya semua kawat terpasang dan siap untuk dipasang tali pancing,
namun tiba-tiba Ikie angkat suara.
“Paman....,
aku mau pancing yang pake lempar itu yah” Kata Ikie.
“Ini
sudah pancing yang dilempar itu” Kataku sembari menunjukkan hasil karyaku.
“Oh....,
kayapa ngelemparnya paman..?”
“Yaaaa
di lempar.., di ewis gandar pancingnya”
“Aku
nda mau yang ada gandarnya ..”
“Lho.....
maunya yang kaya apa” aku mulai bingung.
“Pancing
yang biasanya buat mancing ke sawa’(hilir) itu nah paman”sambung Ikie lagi.
“Pancing
apa...?” Tanya Ebet yang penasaran juga.
“Pancing
yang pake botol itu nah” Jawab Ikie.
“Ini
nanti ada botolnya, tempat gulungan tali pancingnya”Jelasku.
“Bukan,
kalo ini nanti nda bisa makenya, pancingnya yang dilempar aja itu nah” Terang
Ikie lagi.
“Ambur
nte yo ene (pancing ambur untuknya itu)” Kata Ebet.
“OOOOOaalllaaaaaaaahhh..........pancing
yang nda pake gandarnya kah kie” Tanyaku.
“Iyaaaaaaa,”
Jawab Ikie.
Ternyata pekerjaanku membuat pancingan
itu tadi sia-sia.
“Adooooooohhh,..
Ikieee, coba bilang dari awal mau pancing ambur, jadi paman ngak repot buat
pancingan”Cerocosku pada Ikie.
“Aku
nda bisa pake pancing yang ada kerek-kerekan itu, susah” Lanjut Ikie.
“Ya
sudah ne pancingnya paman bongkar” Kataku.
Aku kembali membongkar lilitan benang
yang mengikat kawat-kawat di gandar pancing, setelah kelar kemudian membuat
pancing model ambur yang simple yang hanya bermodalkan tali pancing yang
digulung disebuah botol, mata pancing, dan pemberat.
“Oke
sudah selesai”
“Jalankah
sudah paman?”Tanya Ikie.
“Sebentar
dulu, paman telpon dulu nanya sudah siap jalan kah mereka di lembok sana” Kataku sambil mengambil
telepon genggamku.
Jam tanganku sudah
menunjukkan pukul 10.56 namun saat ku telpon sepupuku di Lembok sana, mereka
belum siap untuk berangkat. Masih dalam persiapan katanya.
Ya sudah , kita masih menunggu kabar
selanjutnya. Mengingat hari semakin siang, Ebet sudah nampak resah menunggu,
begitu juga dengan dengan ikie. Berkali-kali mereka menanyakan apa sudah bisa
berangkat sekarang. Nampaknya mereka sangat bersemangat sekali untuk segera
berangkat.
Dalam penantian yang terasa amat panjang
itu, ikie sibuk dengan bekalnya yang terus ditambah oleh neneknya (ema’ku)
untuk dibawa dalam tas.
“Waduuuh.....
Kie, banyak betul bontotmu ini, semoga aja hasil mancingnya nanti sesuai sama
banyak bontotnya neh”Kataku.
“Nene
yang masukin, Hehehehe....”Sahut Ikie.
Tas ranselku yang tadinya ramping kini
nampat tambun dan melar bergelambir kemana-mana.
“Harus
ikut program diet dulu ne ransel”Pikirku.
Aku kembali membongkar si ransel itu dan
kemudian lebih selektif memilah barang barang yang benar-benar perlu dibawa.
Bekal nasi plus lauk pauk, oke dibawa.
Air minum ada dua botol besar dan satu botol kecil yang sudah terkontaminasi
dengan serbuk minuman rasa-rasa, botol kecil ini ternyata special Ikie yang
punya jadi ngak bisa ditinggal. Terpaksa dah satu botol besar di tinggal aja,
jadi persediaan air minum hanya satu botol besar dan satu botol kecil
rasa-rasa.
Toples isi kue lebaran neh kayanya harus
di minimalisirkan, okeh,,... jadikan saja bermacam-macam jenis kue lebaran itu
di satu toples dan biarkan mereka menemukan jodoh mereka masing-masing dalam
toples itu, ‘Eh’... terakhir perlengkapan cadangan pancing cukup hanya dalam
satu box kecil.
“Okeh
selasai, kalo begini kan lebih simpel” Kataku sambil memamerkan ransel yang
sudah sukses melakukan dietnya dalam sekejap.
Sumpah...., ngak ada yang terkesima sama
sekali. Ikie hanya sibuk dengan menguyah dan Ebet terlihat masih gelisah. Hanya
ada anggapan sinis dari ema’ku.
“Nda kah kurang airnya itu nanti
disana..?”Kata Ema’.
“Tenang
aja, ini saja sudah cukup, apalagi ini sudah hampir tengah hari, kemungkian
disana nda terlalu lama”Sahutku.
“Kaya
apa ini, berangkat sekarang aja kah”Potong Ebet yang sejak tadi memang
gelisah mau cepat berangkat.
“Ya
sembarang ja dah, nunggu disana aja kita sekalian”Sambungku.
Setelah berpamitan kami langsung
berangkat menuju Lembok (Rumah Pamanku). Ikie ikut Ebet di motor Honda Verza
hitamnya sedangkan aku sendiri dengan mengendarai Honda Supra X125 warna kuning
hitam. Hehehe..... kupikir pasti medan jalannya nanti agak waah makanya aku
pake motor itu.
Tak
berapa lama akhirnya kami bertiga sampai di rumah Uda Astani di dusun Maso desa
Lembok. Baru saja aku menginjakkan kaki di teras rumah, tiba-tiba muncul uda
Astani, Ben (Abd Hassan) , dan Saini dengan mengendarai motor. Sepertinya
mereka baru saja dari simpang pait. Setelah ku tanya, benar saja uda Astani
ternyata baru saja dari simpang pait untuk membeli pancing buat Husaini dan
membeli umpan pancing dari pasar.
Dirumah uda Astani kami harus sabar
menunggu dulu, karena mereka akan mengisi perut dulu sebelum jalan. Kami
bertiga juga sebenarnya ditawari makan bersama dulu namun perut kami sudah
diisi full tadi dari rumah. Terpaksa dah “sintap” saja, hehehe........
“Neh
kie sintap dulu, kasih paman ebet itu juga ” Kusodorkan beberapa biji nasi
masak pada Ikie dengan maksud ia memberikan juga pada Ebet.
Namun apa yang terjadi, entah apakah
karena masih lapar atau rasa biji nasi tersebut sangat lezat, biji nasi masak
yang harusnya di berikan juga pada Ebet habis dimakan Ikie.
“Hahahaha,.......”
Aku hanya bisa tertawa.
Sintap memang tradisi di masyarakat
Paser yang sudah melekat turun temurun, jika ditawar makan namun kita menolak
maka kita diwajibkan untuk sintap dengan cara menyentuhkan nasi pada pipi,
tangan atau kaki kita. Jika tidak dilaksanakan dikhawatirkan bisa menyebabkan
“tapen” atau istilah umumnya kepohonan. Percaya atau tidaknya tergantung pada
individu masing-masing, namun sesungguhnya dibalik sintap itu jelas terselip
makna agar kita lebih menghormati tawaran orang lain dan juga menghormati
makanan yang ditawarkan pada kita, hal ini sedikit membuang rasa ponggah,
sombong kita terhadap orang lain dan juga pada makanan.
Akhirnya
Ebet diambilkan sintap yang baru dan Ikie hanya terlihat nyengir-nyengir saja karena sadar kelakuannya yang ternyata membuat
paman Ebetnya tak mendapat sintap.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya
kami benar-benar berangkat menuju tempat memancing. Setelah semua persiapan uda
Astani selesai di cek and ricek, akhirnya kami berangkat.
“Bruuuummm.....,
Bruuuummm” semangat suara gas motor untuk berangkat.
Uda Astani, Ben, Husaini berangkat
dengan satu motor. Kami mengendarai sepeda motor hingga simpang empat Lembok
yaitu perempatan jalan yang menjadi lintasan perusahaan. Kami berbelok kearah
kanan yang merupakan jalan kearah bawah (daerah pesisir).
Setelah masuk kearah jalan perusahaan
tersebut kami berhenti sejenak dipinggir jalan. Kami berhenti karena menunggu
uda Astani yang ingin membeli jangkrik untuk umpan ikan sumpit, rencananya
Husaini yang ingin memancing ikan sumpit dan katanya umpan yang lumayan top
adalah jangrik.
( Panah merah : arah ke pelabuhan , panah kuning: arah ke simpang pait )
(menunggu sejenak)
Setelah beberapa menit menunggu akhirnya
mereka (Uda Astani, Ben, Husaini) datang dan kami segera melanjutkan perjalanan
kami.
Suara deru mesin kendaraan roda dua
mengiringi perjalanan kami. Dijalan berbatu yang lumayan mulus dan terawat. Dan
tentunya dikanan dan kiri yang selalu berjejer rapi pokok-pokok kelapa sawit
yang sudah sangat tinggi menjulang. Sesekali ada rumah warga dan sebuah
gentung/kolam besar yang dapat kita lihat dan memberikan kesan tersendiri bagi
diriku pribadi.
Ya... melihat gentung itu aku teringat
saat masih anak-anak dahulu saat masih sering melewati jalan ini. Saat itu
adalah saat-saat uma’ku masih bekerja di sebuah perusahaan kayu yang jalan
perusahaannya adalah yang kami lewati ini.
Pada jalan perusahaan
ini kita harus mengikuti rambu-rambu yang sudah terpasang dipinggir jalan di
setiap kita bertemu tikungan. Tidak seperti dijalan raya dimana kita selalu
berjalan diarah kiri terus, nah dijalan ini jika sebelumt tikungan ada rambu
bertuliskan kanan maka posisi lajur kendaraan kita hasur berpindah kearah kanan,
dan begitu pula sebaliknya jika kita melihat rambu bertuliskan kiri, maka kita
harus kekiri.
Setelah terus berkendara kemudian kami
bertemu pertigaan jalan, pada pertigaan tersebut kami berbelok kearah kiri dan
terus melanjutkan perjalanan. Kini dikiri-kanan jalan tak melulu kita melihat
pokok sawit, terkadang kita akan menjumpai sedikit hutan yang menghiasi
bibir-bibir jalan dan ada persimpangan menuju perusahaan-perusahaan yang berada
di pinggir sungai lembok lainnya, namun kita tetap memilih jalan lurus yang
meuju pelabuhan perusahaan nikel. Dalam perjalanan tersebut walaupun jarang
kita juga bisa melihat rumah-rumah sederhana dari warga setempat. Dan ternyata tak jauh dari pemukiman tersebut
nampak dikejauhan portal/pos penjagaan perusahaan.
Awalnya ada perasaan resah dan gelisah
saat melihat pos penjagaan itu. Jangan-jangan diperiksa pake metaldetector
ntar. Wah bisa gawat kalau kaya begitu, didalam ranselku kan banyak senjata
tajam dan bahan-bahan metal lainnya. Belum lagi jika ada pemeriksaan identitas
lainnya.
Tapi setelah kuperhatikan mereka yang
berada didepanku dengan santai saja melewati celah sedikit sempit yang berada
dekat dengan pos penjagaan yang ternyata memang buat leat kendaraan bermotor,
sedangkan jalanan buat mobil masih tertutup portal. Aku pun meleati celah jalan
sempit itu dan aku masih dibelakang dua motor Ebet dan Ben. Dan jalanan pun
mulai terasa sedikit genit pada roda motorku.
“Harus
mulai ekstra hati-hati neh” pikirku.
Jalanan tanah yang tadinya berbatu kini
hanya tertinggal tanahnya saja ternyata. Dan mulailah adegan goyang kupu-kupu
pada motor. He...., tapi masih bisa diatasi dengan mudah hingga akhirnya kami
sampai pada spot pemancingan yang pertama.
Setelah melewati jalan setapak yang
dikelilingi semak belukar khas hutan bakau akhirnya kami tiba ditepi sungai.
Sepertinya tempat itu memang menjadi spot andalan pemancing, buktinya daerah
tepinya sudah sangat bersih dari semak belukar dan walaupun ditepi sungai tanah
nya tak lembek berlumpur. Tapi sayang, nampaknya air sedang surut dan arusnya
sangat deras. Berkali-kali mencoba melempar kail ke air yang terlihat keruh itu
selalu saja mata kail kami terbawa arus ke pinggir. Tidak cepat putus asa kami
terus mencoba namun nampak sia-sia saja bahkan terkadang pancingku menyangkut.
Disela-sela kami terus berusaha tersebut
tiba-tiba kami dikejutkan oleh sebuah penampakan di air yang berada jauh di
dekat tepi sungai seberang sana. Ebet lah yang pertama kali melihat penampakan
tersebut, sebuah riak seperti batang kayu yang melawan arah arus sungai,
berwarna gelap dan seperti adegan-adegan di chanel National Geo Wild.
“Bayo
itu ......!!!!”Kata Husaini dengan semangat.
“Huuuuuusshhhh,,..
nda boleh ngomong kaya gitu”cetus Ben.
“Hahahahhaha”
Tawa Ebet karena mendengar kata-kata Husaini.
Biasanya ada pantangan jika sedang dekat
dengan air itu dilarang menyebutkan nama binatang buaya tersebut. Entah buaya
atau biawak yang pasti aku juga sempat melihat bentuk moncongnya yang tampak
panjang, namun sayangnya aku tak sempat memotretnya dan penampakan itu langsung
hilang karena menyelam. Daerah pelabuhan telen ini memang terkenal akan
buayanya, sudah banyak cerita-cerita dari mulut ke mulut tentang buaya-buaya
ditempat itu.
Setelah
usaha di spot pertama itu dirasa gagal karena air masih kencang arusnya,
kemudian kami pergi dari tempat itu dan menuju pelabuhannya. Perjalanan menuju
pelabuhan ini ternyata tak semudah yang aku kira. Setelah melewati tenda-tenda
tempat penampungan nikel kemudian kami dihadapkan pada kondisi jalan yang genit
lagi, dan yang ini jauh lebih genit lagi kini bukan goyang kupu-kupu lagi namun
sudah menjadi goyang kupu-kupu sekarat megap-megap.
Geal-geol,,............geaaallll...geoooolll
... dan akhirnya kami sampai disebuah pondok dekat pelabuhan. Dipondok tersebut
ada dato/pria tua yang menyambut kedatangan kami dan seekor anjing yang sepertinya
menjadi sekuriti di tempat itu, uda Astani pun meminta izin mau memancing
memancing di dermaga pelabuah yang letaknya tak jauh dari pondok tersebut. Si
dato pun mempersilahkan kami untuk memancing.
(spot kedua )
Okeh,,.... kami segera menuju dermaga. Ikie
dan Husaini nampak bersemangat berlari menuju dermaga tersebut dan kami bertiga
menyusul dibelakang. Saat kami bertiga berjalan yang hampir beriringan itu,
sayup-sayup imajinasi liarku muncul. Suara soundtrack “Limp bizkit – take a
look around” menggema mengiringi langkah kami dengan gaya slow motion. Seperti film
laga Tom cruise langkah pasti kami cerminkan rasa optimis. Hembusan asap rokok
Ebet berkeliaran bak mafia kelas kakap yang siap mengeksekusi hasil pancingan
nanti. Tampang wajahnya yang sangat gregeeeet bagai maddog di film the raid
membuat anjing tadi meneguk liur dan tak berani lagi untuk menggonggong. Semua
wajah kami sebenarnya memancarkan suatu harapan yang sama, yaitu ingin
mendapatkan ikan. Saat sampai didermaga, aku pikir tak ada orang yang memancing
selain kami karena diatas dermaga tak ada seorangpun nampak sedang memancing.
Ternyata dugaanku salah besar, aku kaget ketika melihat kearah bawah dermaga
disisi sampingnya, ternyata sudah ada beberapa orang yang sedang asyik
memancing disitu.
Hehehe,... katanya sih biar ngak panas
gitu. Okelah ... atur saja, aku dan yang lainnya segera mempersiapkan piranti
pancing dan memasang umpan dari udang yang masih segar (namun sayang sudah
meninggal semua udangnya). Ikie dan Husaini juga sibuk dengan pancing mereka,
khusunya buat ikie dia juga sukses memnuat aku ikut sibuk dengan urusannya.
Setiap kali giliran melempar kail pasti aku yang diperintahnya. Namun
lama-kelamaan kedua bocah ini sibuk dengan kegiatan memancing ikan kipar dan
sumpit dibawah dermaga. Terpaksa keduanya tetap menggunakan udang sebagai
umpannya, karena jangkrik yang tadi mereka cari sedang kosong (tidak ada yang
jual).
Setelah sekian lama
kami menanti ada yang menarik pancing kami dengan ikan yang besar namun semunya
terasa hanya imajinasi semu kami saja, hanya beberapa ekor ikan tanda-tanda
yang bisa didapatkan. Semakin siang orang-orang mulai banyak berdatangan
kedermaga untuk memancing juga. Ternyata banyak juga yang mengalihkan tradisi
jalan-jalan ke tempat wisata (Tanjung Jumlai) saat usai lebaran dan lebih
memilih untuk pergi ketempat ini (dermaga) untuk memancing. Disela penantian
itu kami dikejutkan oleh suara gaduh diarah sisi samping dermaga, dan serentak
kami bergegas kearah suara gaduh. Dan saat melihat kebawah ternyata
ada seorang anak yang sedang mengambil seekor ikan loang/ ikan bulan-bulan di
tepi sungai yang berlumpur. Lumayan besar sih, entah bagaimana ia mendapatkan
ikan tersebut. Namun sepertinya dengan pancingnya yang masih dipegangnya itu,
karena sebagian orang mengatakan seperti itu.
Waaahhh,,..... sinyal bagus neh sebagai
penyemangat baru untuk kembali menanti tarikan ikan di kail pancing kami. Namun
berbagai usaha yang telah kami lakukan, tetap saja masih nihil. Bahkan Uda
Astani sudah mencoba mengganti umpannya dengan anak ikan yang masih hidup. dan
Uda juga mencari pumpun/ cacing laut yang ada di pinggir sungai berlumpur tak
jauh dari dermaga sebagai umpannya. Kini sudah ada tiga jenis umpan yang telah
kami coba, dan yang mendapat respon sepertinya ada pada umpan pumpun tapi tetap
saja belum ada straike ikan yang memuaskan.
Terik
matahari sangat menyengat membakar kami yang sedang berada didermaga. Ini
benar-benar seperti sedang dalam proses pengeringan pada ikan asin. Sambil
sesekali mengunyah cemilan kue khas lebaran dari dalam toples kami masih setia
menanti. Karena cuaca yang sangat panas ini menyebaban gejala dehidrasi semakin
meningkat, terlebih pada Ikie, sejak tadi ia yang paling sering minum hingga
persediaan air minun rasa-rasa miliknya sudah ludes sejak tadi. Sepertinya
musim kemarau extream sedang melanda botol persediaan air minun ikie, Kini ia
mulai menjajah persediaan air minum pada botol besar persediaan kami hingga
hanya tinggal separuh isinya. Dalam usaha penjajahan tersebut akhirnya ikie
mengutarakan isi hati/perasaannya namun menurutku lebih pada mengutarakan isi
perutnya.
“Paman,
laaaaaappppaaaaaaaaaaaaaaaarrr”Kata Ikie.
“Ya
makan, neh bawa bontot/sangumu ajak Saini makan di pondok sana”Kataku.
“Sama
Paman” Sambung Ikie.
“Bobooohhh,,..
Paman masih mau mancing ini, ajak Saini sana biar ada temannya” Terangku lagi.
Namun Ikie tetap tidak mau. untunglah beberapa saat kemudian Ebet bersedia menemai Ikie
dan Saini, karena nampaknya dia juga sudah maulai lapar...
"Mulai lapar...mulai laparr...."
"DIIIIIIAAAAAAAMMMMMM...........!!!!!!!"
segera kuambilkan tempat makanan segi empat dari dalam ransel dan memberikannya pada Ikie.
"Dihabiskan yah kie" pesanku.
"Iya paman" Jawab Ikie.
Mereka pun bergegas ke pondok dan wajah Ikie pun akhirnya memancarkan aura kebahagiaan. Bagiku pribadi masih kuat tak perlu ikut makan karena berhubung persediaan lemakku masih melimpah untuk ditransformasi menjadi tenaga....hehehehe.
Setelah selesai makan Ikie dan Saini kemudian kembali datang ke dermaga. mereka langsung mengambil pancing mereka masing-masing dan mulai memancing ikan julung-julung di sisi samping
dermaga. Mereka nampak riang sekali memancing ikan julung-julung karena ikan
permukaan itu memang sangat gampang untuk dipancing, walaupun cuaca panas terik matahari masih tak jua kunjung pergi.
Panasnya memang sangat luar biasa, kasian juga aku melihat Ikie keponakanku yang dari tadi masih sangat menikmati kegiatannya sendiri.
Tak terasa cuaca panas itu telah membuat persediaan air minum kami semakin kritis. Bahkan persediaan satu botol besar yang aku bawa juga sudah habis. Hehehe..... terpaksa menjajah air minum yang dibawa Uda Astani. Cuaca panas itu membuat aku terkadang lari kepondok untuk berteduh dan beristirhat. saat aku ingin ke pondok beristirahat, nampak dato sepertinya ingin pergi. dengan menggendong anjat serta mendau dipinggangnya beliau berangkat dengan dibonceng seseorang menggunakan sepeda motor.
Cuaca panas itu juga akhirnya membuat kondisi Ebet mengalami sedikit masalah, dia mulai merasakan sakit yang menjadi-jadi dikepalanya. Sebelum berangkat tadi ia memang sedikit mengeluhkan gejala kurang sehat namun karena judul perjalanannya adalah "memancing", jadi tak bisa ia lewatkan.
Kasihan sekali dia, dengan kondisi cuaca yang sangat panas dan ditambah hawa air asin muara ini pasti sangat menyiksanya. Awalnya ia mencba mengatasinya dengan beristirahat di pondok tapi masih belum ada perubahan. Dan akhirnya ia pamit untuk pulang lebih dahulu.
Yaa... kami pun mempersilahkannya pulang lebih dahulu karean ditakutkannya semakin lama nanti malah ngak bisa mengendarai motornya, kan ngak mungkin Ikie yang membonceng Ebet.
Setelah menitipkan pancingnya padaku Ebet langsung menuju pondk lagi dan langsung pulang. Kini tersisa aku, Ikie, Uda Astani, Ben (Hassan) dan Husaini serta pengunjung- pengunjung lain yang juga nampak asyik dengan penantian panjang akan straike di dermaga panas itu.
Cuaca panas itu juga akhirnya membuat kondisi Ebet mengalami sedikit masalah, dia mulai merasakan sakit yang menjadi-jadi dikepalanya. Sebelum berangkat tadi ia memang sedikit mengeluhkan gejala kurang sehat namun karena judul perjalanannya adalah "memancing", jadi tak bisa ia lewatkan.
Kasihan sekali dia, dengan kondisi cuaca yang sangat panas dan ditambah hawa air asin muara ini pasti sangat menyiksanya. Awalnya ia mencba mengatasinya dengan beristirahat di pondok tapi masih belum ada perubahan. Dan akhirnya ia pamit untuk pulang lebih dahulu.
Yaa... kami pun mempersilahkannya pulang lebih dahulu karean ditakutkannya semakin lama nanti malah ngak bisa mengendarai motornya, kan ngak mungkin Ikie yang membonceng Ebet.
Setelah menitipkan pancingnya padaku Ebet langsung menuju pondk lagi dan langsung pulang. Kini tersisa aku, Ikie, Uda Astani, Ben (Hassan) dan Husaini serta pengunjung- pengunjung lain yang juga nampak asyik dengan penantian panjang akan straike di dermaga panas itu.
Pada pukul 17.00, akhirnya kami juga memutuskan untuk mengakhiri kegiatan memancing kami. Hanya ada beberapa ikan julung-julun dan ikan tanda-tanda. Yah semuanya patut kami syukuri karena seperti kata Uda Astani: "Alhamdulillah...... kuli miwit, keo beh belo , roa beh belo pengkuli miwit yo, yo penting bersyukur aso kuli miwit yo".
Jika di translete ke Bahasa Indonesia : " Alhamdulillah.... dapat mancing, ada atau tidak, banyak atau tidak pendapatan mancingnya, yang penting bersyukur masih bisa/ dapat memancingnya". arti maknanya adalah kita harus bersyukur masih bisa melaksanakan kegiatan memancingnya.
Bagiku pribadi, perjalanan ini memberiku sebuah pelajaran; " Jangan kau sedia payung kecil jika kau masih belum tau hujan seperti apa yang akan kau hadapi". karena mengira persediaan air minum satu botol besar dan satu botol kecil cukup, aku tak mengindahkan perintah ema'ku untuk membawa dua botol besar air minum, dan bencana kekeringan botol air minum pun akhirnya terjadi.
Aku dan Ikie serta Husaini lebih dahulu pergi ke pondok. sambil menunggu Uda dan Ben yang masih di dermaga, Ikie dan Husaini berphoto ria dulu.
Beberapa saat kemudian Uda dan Ben muncul dan kami pun bersiap meluncur pulang. kembali melewati jalan yang tadi kami lewati. namun kini jalannya sudah mengeras dan tak licin lagi. dalam perjalanan pulang itu Ikie yang kini kuboncengi sibuk memotret-motret apapun dijalan.
Kembali melewati tenda raksasa yang sangat berdebu, melewati pos penjagaan dan meluncur mulus di jalan yang tadi kami lewati. Saat melewati jalan yang nampak dikakan-kirinya rimbun karena pepohonan, mataku tertuju pada sebuah bangunan yang terlihat sudah usang. Yaa... bangunan itu adalah sebuah masjid, karena nampak kubahnya yang masih utuh walaupun sebagian besar atapnya telah tertutup oleh semak belukar. aku pun berhenti sejenak dan memotretnya. menurut cerita dahulu ditempat itu adalah pemukiman warga. daerah itu sering disebut dengan nama Tajur lama. karena adanya program perkebunan plasma kelapa sawit didaerah tajur yang sekarang, akhinya para penduduknya melakukan perpindahan penduduk secara besar-besaran ke daerah tajur yang sekarang untuk mencari penghidupan yang lebih baik. kemungkinan perpindahan itu karena didaerah itu tak lagi memiliki sesuatu yang menjadi mata pencarian warga pada saat itu. Didaerah sekitar banguan itu sekarang memang nampak seperti hutan belantara.
Setelah selesai memotret aku dan Ikie melanjutkan perjalanan kami. dan ternyata uda Astani yang tadi berada di depan kami juga ikut singgah karena melihat kami berhenti. mungkin mereka takut ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada kami.
Syukur alhamdulillah setelah menempuh perjalanan pulang, akhirnya kami sampai dirumah. Aku dan Ikie disambut oleh orang-orang dirumah.
Jika di translete ke Bahasa Indonesia : " Alhamdulillah.... dapat mancing, ada atau tidak, banyak atau tidak pendapatan mancingnya, yang penting bersyukur masih bisa/ dapat memancingnya". arti maknanya adalah kita harus bersyukur masih bisa melaksanakan kegiatan memancingnya.
Bagiku pribadi, perjalanan ini memberiku sebuah pelajaran; " Jangan kau sedia payung kecil jika kau masih belum tau hujan seperti apa yang akan kau hadapi". karena mengira persediaan air minum satu botol besar dan satu botol kecil cukup, aku tak mengindahkan perintah ema'ku untuk membawa dua botol besar air minum, dan bencana kekeringan botol air minum pun akhirnya terjadi.
Aku dan Ikie serta Husaini lebih dahulu pergi ke pondok. sambil menunggu Uda dan Ben yang masih di dermaga, Ikie dan Husaini berphoto ria dulu.
Beberapa saat kemudian Uda dan Ben muncul dan kami pun bersiap meluncur pulang. kembali melewati jalan yang tadi kami lewati. namun kini jalannya sudah mengeras dan tak licin lagi. dalam perjalanan pulang itu Ikie yang kini kuboncengi sibuk memotret-motret apapun dijalan.
Kembali melewati tenda raksasa yang sangat berdebu, melewati pos penjagaan dan meluncur mulus di jalan yang tadi kami lewati. Saat melewati jalan yang nampak dikakan-kirinya rimbun karena pepohonan, mataku tertuju pada sebuah bangunan yang terlihat sudah usang. Yaa... bangunan itu adalah sebuah masjid, karena nampak kubahnya yang masih utuh walaupun sebagian besar atapnya telah tertutup oleh semak belukar. aku pun berhenti sejenak dan memotretnya. menurut cerita dahulu ditempat itu adalah pemukiman warga. daerah itu sering disebut dengan nama Tajur lama. karena adanya program perkebunan plasma kelapa sawit didaerah tajur yang sekarang, akhinya para penduduknya melakukan perpindahan penduduk secara besar-besaran ke daerah tajur yang sekarang untuk mencari penghidupan yang lebih baik. kemungkinan perpindahan itu karena didaerah itu tak lagi memiliki sesuatu yang menjadi mata pencarian warga pada saat itu. Didaerah sekitar banguan itu sekarang memang nampak seperti hutan belantara.
Setelah selesai memotret aku dan Ikie melanjutkan perjalanan kami. dan ternyata uda Astani yang tadi berada di depan kami juga ikut singgah karena melihat kami berhenti. mungkin mereka takut ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada kami.
Syukur alhamdulillah setelah menempuh perjalanan pulang, akhirnya kami sampai dirumah. Aku dan Ikie disambut oleh orang-orang dirumah.