Tradisi
adalah kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam
masyarakat (KBBI-offline1.2). Suku Paser memiliki kekayaan ragam tradisi
adat budayanya yang telah diwariskan turun-temurun dari zaman itak-kakah nenek
moyang mereka terdahulu. Sebagai salah satu klan suku yang besar yang ada di
pulau Kalimantan, Suku Paser memang hampir mendiami berbagai kondisi topography
yang ada diwilayah penyebarannya. Mulai dari dataran tinggi atau pegunungan
yang disebut “Bawo”, dataran rendah termasuk tepi-tepi sungai dan rawa-rawa,
hingga daerah pesisir. Setiap perbedaan lingkungan tempat tinggal tersebut
akhirnya dapat menciptakan berbagai kebiasaan masyarakat yang beragam pula.
Selain murni muncul dari masyarakat itu sendiri, beberapa hal tersebut tentunya
juga ada yang dipengaruhi oleh intensitas interaksi masyarakat itu dengan
nilai-nilai yang mendatangi mereka.
Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat Suku Paser ini
pun kini ada yang masih terus dipertahankan, namun tidak bisa dipungkiri juga
bahwa sebagian dari kebiasaan-kebiasaan tersebut kini ada yang mulai sulit
ditemukan lagi. Beberapa kebiasaan itu sulit ditemukan lagi bahkan memang
kebiasaan-kebiasaan itu sudah tidak dilakukan lagi. Hilang bahkan tidak dilakukan
lagi itu bukanlah tanpa adanya alasan yang bisa dijelaskan. Ada beberapa hal
yang sangat berkaitan erat mengapa beberapa kebiasaan itu bisa ditinggalkan. Mulai
dari efek dari perkembangan zaman yang meliputi, perkembangan pola pikir
masyarakat, perkembangan system yang berlaku dalam masyarakat, hingga faktor
alam yang ada dilingkungan masyarakat itu tinggal atau menetap.
Beberapa kebiasaan ini juga tentunya akan berbeda pada
tiap-tiap sub-suku Paser itu dimanapun berada. Ada yang memang pernah menjadi
kebiasaan dalam masyarakat mereka namun ada pula yang tidak pernah
melakukannya. Disamping itu pula, dikatakan tradisi yang mulai hilang atau ditinggalkan bukan berarti kebiasaan tersebut sepenuhnya hilang. Didaerah tertentu
mungkin sudah ditinggalkan namun tidak menutup kemungkinan didaerah lainnya
masih melakukan beberapa kebiasaan tersebut. Hanya saja karena intensitas
pelaksanaannya kini mulai kurang terlihat lagi bahkan tidak sama sekali,
membuat beberapa kebiasaan-kebiasaan itu digolongkan dalam “tradisi suku Paser yang mulai hilang”.
Beberapa kebiasaan orang Paser yang kini mulai ditinggalkan tersebut
dapat kita lihat pada penjelasan dibawah ini;
1.
Ketika Hujan Panas Melanda.
Pada
zaman dahulu ada sebuah kebiasaan yang dilakukan ketika seseorang sedang dalam
perjalanan, dan ketika itu juga tiba-tiba hujan turun dan disertai terik panas
matahari yang masih menyengat. Kebiasaan tersebut adalah menyelipkan sebuah
daun yang masih hidup diselah daun telinga bagian atas. Daun yang digunakan pun
tidak menuntut pada jenis tanaman tertentu. Dengan kata lain, daun yang
digunakan bebas terserah apa yang kita inginkan. Yang terpenting daun hidup
yang digunakan adalah utuh satu daun, bukan sobekan. Dengan demikian daun yang
digunakan adalah daun yang berukuran kecil saja, yang masih muat dengan daun telinga
bagian atas tadi. Kebayang kan jika harus menggunakan daun pisang yang lebar
atau menggunakan daun “Jupe” yang bisa menyebabkan rasa perih dan gatal, tentu
hal tersebut bisa menyulitkan merugikan penggunanya. Jadi, kita hanya perlu
memilih jenis daun yang tepat dan aman untuk digunakan.
Menyelipkan daun diatas daun telinga
Menyelipkan daun hidup pada daun
telinga ini memang memerlukan tafsir mendalam lagi mengenai apa tujuan dan
manfaatnya, namun ada kepercayaan bahwa jika melakukan hal itu ketika berjalan
dihutan dan dalam keadaan hujan panas, maka kita tidak akan terlihat sebagai
ancaman bagi para mahluk-mahluk kasat mata yang ada dalam hutan tersebut.
Kondisi hujan panas pun sebenarnya punya mitos-mitos tersendiri pada semua suku
bangsa yang di Indonesia. Dan hal tersebut juga ada dalam masyarakat suku
Paser. Misalnya, adanya yang mengatakan pertanda ada yang meninggal dunia, atau
hal-hal yang lebih menyeramkan lainnya. Bagi sebagian orang hal itu tentu hanya
sebuah lelucon yang menggelitik dan tak jarang menjadi bahan ejekkan. Namun
dibalik itu semua mitos-mitos itu juga memiliki sebuah pembelajaran,
pembelajaran bagaimana orang tua terdahulu sudah mengetahui hal-hal buruk yang
bisa terjadi saat keadaan hujan panas tersebut. Hal-hal buruk itu tentunya tak
ingin sampai terjadi pada anak-anak mereka. Sehingga terciptalah mitos-mitos
yang bertujuan agar anak-anak tak main diluar rumah ketika hujan panas. Mengapa
harus menggunakan mitos-mitos yang seakan menakut-nakuti ?. Jawabannya
kemungkinan tak jauh beda dengan pertanyaan mengapa kita menggunakan penyemprot
pembasmi nyamuk ketimbang menepuk memukul nyamuk satu-persatu. Simpel namun
paling efektif walaupun terkesan kurang aman namun apalagi yang harus diperbuat
jika berhadapan dengan sifat anak yang kurang peduli dengan hal-hal yang bisa
berakibat buruk untuknya.
Kembali pada menyelipkan daun hidup
di daun telinga. Kebiasaan ini memang sudah sangat jarang ditemui. Terakhir
kali saya melihat kebiasaan ini adalah sekitar tahun 1996/1997. Saat itu anak-anak
Sekolah Dasar ramai-ramai melakukan hal tersebut ketika dalam perjalanan pulang
dari sekolah, kebetulan saat itu sedang hujan panas. Ternyata anak-anak seperti
mereka saat itu masih mengindahkan pesan-pesan dari orang tua mereka.
2. Pertanda Pemilik Rumah Sedang Tidak Ada
Dirumah.
Pertanda
bahwa pemilik rumah sedang berpergian memang yang umum kita jumpai adalah pintu
rumah tertutup rapat dan keadaan rumah yang sepi karena si pemilik rumah memang
sedang pergi. Namun bagi orang Paser ada salah satu kebiasaan yang dilakukan
ketika pergi meninggalkan rumah untuk waktu yang lama. Kebiasaan itu adalah
menjauhkan ujung tangga yang menempel pada lantai rumah. Bentuk tangga rumah
orang Paser pada zaman dahulu memang sangat sederhana, hanya berbentuk kayu
bulat yang ditatah membentuk anak tangga. Tangga ini pun tak pernah direkatkan
secara permanen pada lantai rumah. Hal tersebut bertujuan agar lebih mudah
untuk melepaskan tangga ketika hendak meninggal rumah untuk waktu yang cukup
lama.
Dua orang yang sedang datang berkunjung namun pemilik rumah sedang tidak ada ditempat
Tujuan dari kebiasaan ini sebenarnya
agar rumah lebih aman dari gangguan seekor anjing. Biasanya banyak anjing yang
naik kerumah karena adanya tangga itu, dan ketika tangga dilepaskan maka tak
ada lagi akses bagi para penjarah itu masuk kerumah. Pada perkembangannya,
kemudian tangga-tangga kayu bulat ini digantikan oleh jenis tangga seperti saat
ini. Menggunakan dua buah kayu panjang dan kayu-kayu pendek sebagai anak
tangganya. Walaupun bentuk tangga yang berubah, namun kebiasaan itu tetap saja
dijalankan. Biasanya akan dikaitkan sebuah tali pada ujung tangga bagian atas
yang terhubung dengan lantai rumah. Walaupun tujuan dari kebiasaan ini adalah
untuk mencegah anjing masuk kerumah, namun disamping itu telah mengindikasi
bahwa pemilik rumah sedang berpergian dan tak sedang berada dirumah.
Pada perkembangan zaman saat ini,
rumah-rumah orang Paser banyak yang berubah tidak berbentuk panggung lagi.
Pengaruh desain-desain modern dan bentuk rumah perkotaan menjadi inspirasi
pembanguan rumah-rumah saat ini. Bahan bangunan berupa beton nan kokoh menjadi
pilihan, sehingga tak mungkin lagi ada binatang penyusup yang bisa masuk
terkecuali melalui pintu dan jendela yang terbuka. Pemilihan bahan baku semen
dan batu itu juga mendukung beberapa alasan, seperti ketersediaan bahan baku
kayu yang mulai sulit didapat, jika pun ada harganya pun hampir sama seperti
menggaunakan bahan beton. Alasan lainnya tentu karena ingin mengikuti arus yang
sedang trending topic. Memang sangat disayangkan, banyak ciri khas tradisi yang
dahulu melekat pada orang Paser kini hilang. Kini tak ada lagi pembeda yang
bisa mengindikasi bahwa itu rumah orang Paser. Semuanya terlihat sama dan
karena hal itu tak jarang orang yang baru datang mengira bahwa bukan rumah
orang Paser.
Bahan pembangunan memang boleh berubah, tradisi tangga
(tukar) portable pun boleh hilang. Namun bentuk ciri khas yang mengidentifikasikan
ke”Paser”an itu sampai hilang,
itulah yang sangat disayangkan.
3.
Pemberitahuan Kepada Pemilik Rumah Bahwa Seseorang Telah Mengunjungi Rumahnya.
Saat
mengunjungi rumah kerabat dekat yang berada jauh di kampong lain terkadang kita
memang menemui sesuatu hal yang tak kita inginkan. Terkadang pemilik rumah tak
ada ditempat dan kita juga tak mengetahui sedang pergi kemana si pemilik rumah
tersebut. Ingin bertanya juga merupakan suatu hal yang sangat sulit
dilaksanakan, rumah zaman dahulu memang tidak serapat zaman sekarang yang
memiliki banyak tetangga disamping kanan dan kiri. Dalam keadaan seperti itu
tak ada pilihan lain selain menunggu sejenak. Namun jika menunggu juga bukan
pilihan yang utama, tak ada pilihan lain selain pergi meninggalkan rumah
tak berpenghuni itu. Selain hanya sekedar mengunjungi terkadang kita juga bermaksud ingin meminta sesuatu semisal sayuran buah-buahan atau yang lainnya yang ada disekitar rumah yang sedang kita kunjungi tersebut.
Sebelum
pergi meninggalkan rumah tersebut ada sebuah kebiasaan unik yang dahulu sering
dilakukan. Kebiasaan itu adalah meninggalkan beberapa daun hidup lengkap dengan
tangkai-tangkainya. Biasanya dedaunan yang masih hidup segar itu diletakkan
disekitar pintu rumah. Jika kebiasaan itu telah dilaksanakan, maka kita boleh
pergi dari rumah itu untuk melanjutkan perjalanan kita selanjutnya.
Dedaunan yang diletakkan gangang pintu sebagai pertanda ada seseorang yang pernah datang berkunjung
Dahulu kala banyak orang Paser memang
belum mengetahui baca tulis, apalagi alat komunikasi semisal handphone seperti
saat ini. Satu-satunya cara untuk memberitahukan si pemilik rumah bahwa kita
pernah datang berkunjung adalah dengan media dari alam. Media itu adalah
dedaunan yang masih segar lengkap dengan tangkainya. Mengapa harus yang masih
hidup dan segar ?, hal tersebut agar memberitahukan berapa lama waktu yang
telah terlewatkan saat kita berkunjung. Semakin kering bentuk dedaunan itu maka
tamu sudah sangat lama pernah datang. Penggunaan dedaunan itu juga jangan
terlalu berlebihan. Hal itu takut hanya membuat rumah orang yang kita kunjungi
itu menjadi tampak kotor. Kita hanya membutuhkan sedikit dedunan segar berserta
tangkainya.
Kebiasaan ini saat ini sudah tentu
sudah hilang. Alasan yang paling mendasari hilangnya kebiasaan itu adalah kini
masyarakat sudah bisa baca tulis dan tentunya masyarakat sudah mampu untuk
memiliki alat-alat komunikasi sepert saat ini.
4. Tradisi menuba ikan ( Nuwoq esa )
Tradisi
menuba ikan memang jamak dilakukan beberapa suku yang ada di pulau Kalimantan.
Kebiasaan menuba ikan ini adalah salah satu cara memperoleh ikan menggunakan
zat yang berasal dari akar tanaman tuwoq. Akar dari tanaman tuwoq itu
dipukul-pukul hingga mengeluarkan zat yang dilarutkan pada aliran sungai. Zat
yang dikeluarkan dari akar itu membuat ikan-ikan mabuk dan muncul kepermukaan.
Dengan demikian, ikan-ikan menjadi mudah untuk ditangkap dan diambil.
Pada zaman dahulu kala, di daerah
Paser ada sebuah tradisi menuba beramai-ramai. Setiap kampong-kampung akan
diundang untuk melaksanakan tradisi yang dilakukan sangat jarang sekali itu.
setiap kampong di Paser pasti memiliki aliran sungai kecil maupun besar, hal
tersebut karena setiap nama kampong di Paser selalu dinamakan sesuai dengan nama
sungai yang terdapat di kampong tersebut. Berbeda dengan yang ada saat ini, ada
banyak nama kampong/desa baru yang dinamakan bermacam-macam pula. Beberapa
kampong/desa tersebut tentunya baru-baru saja terbentuk saat ini atau semenjak
program transmigrasi ada.
Setiap
ada tradisi menuba ramai-ramai tersebut, kampong yang sedang melaksanakan
kegiatan biasanya mengundang kampong-kampung tetangganya yang lebih dekat.
Misalnya tahun ini kampong Lembok dan Perigi yang menyelenggarakannya di sungai
lembok, maka kampong yang diundang adalah Suayo, Semuntai, Sendeley, Pait dan
sebagainya.
Nuwoq Esa
Tradisi ini saat ini sudah hilang
dan tak ada lagi jejaknya. Masyarakat biasanya jika menuba hanya bersifat
personal saja, dan itu pun dalam skala yang sangat kecil sekali. Ketersediaan
ikan disungai tak melimpah seperti dulu. Walaupun ada tradisi demikian rupa,
tetap saja ikan-ikan dimasa itu masih melimpah. Hal tersebut juga karena
tradisi tersebut tidak dilakukan secara rutin. Alam benar-benar masih menjadi
sabahat terbaik manusia saat itu. jika kau ingin makan lauk ikan, cukup sekali
saja melempar jala, maka berbagai jenis ikan sudah bisa menjadi lauk tiga kali
makan dalam sehari.
Tradisi ini juga kemungkinan tidak
tersebar merata diseluruh wilayah Paser. Kemungkinan besar tradisi ini
dahulunya hanya pada kampong-kampong yang memiliki sungai yang memiliki sumber
daya yang melimpah saja.
5. Rumah Kulit Kayu (Louq Upak).
Sejak
zaman dahulu, orang Paser mempunyai ciri khas pada bangunan rumahnya. Salah
satu ciri khas bangunannya adalah atap dan dinding yang berbahan kulit kayu.
Namun ada pula yang mengkombinasikan antara atap daun nipaq dengan dinding kulit
kayu, hal tersebut tenggantung dengan
persediaan bahan yang ada di lingkungan seseorang itu berada.
Salah satu bentuk rumah dengan bahan kulit kayu di Desa Modang, Kecamatan Kuaro via flickr Desa Modang
Pada masanya, rumah yang menggunakan
dinding kulit kayu memiliki pamor yang tinggi saat itu. istilah saat ini rumah
penduduk yang menggunakan dinding kulit kayu itu adalah rumah orang yang mewah.
Dikatakan mewah karena dinding dari kulit kayu memiliki beberapa kelebihan daripada
bahan lainnya. Beberapa kelebihan itu seperti, dinding kulit kayu menciptakan
rasa nyaman dan sejuk ketika berada didalamnya, dinding kulit kayu juga
mempunyai kekuatan yang cukup bagus sehingga umur penggunaannya lumayan cukup
lama. Disamping itu pula, untuk mendapatkan bahan kulit kayu yang siap
digunakan untuk dinding juga tidak sembarangan. Bahan kulit kayu bisa
didapatkan dari beberapa jenis kayu saja dan sudah mencapai ukuran diameter
lingkaran batang yang sudah ditentukan. Pada sebagian orang Paser ada juga
sebuah keyakinan saat yang paling tepat untuk mengelupaskan kulit kayu untuk
bahan dinding tersebut. Pengelupasan kulit kayu itu paling tepat dilakukan saat
masa bulan purnama tiba. Pengerjaannya tetap dilakukan pada siang hari, namun
dengan beberapa keahlian *khusus yang
dimiliki orang Paser dengan didukung oleh keyakinan tadi, maka pengelupasan itu
akan menjadi mudah dan tampak lebih sempurna.
Tradisi menggunakan kulit kayu
sebagai bahan dinding rumah ini saat ini memang mulai langka. Kini rumah-rumah
seperti itu hanya dapat dijumpai di kebun-kebun masyarakat Paser atau
diperkampungan yang masih mempertahankan rumah-rumah seperti itu. Alasan yang
paling kuat mendorong terjadinya hal itu tentu karena perkembangan zaman yang
meliputi manusianya yang memiliki andil besar dalam melakukan sebuah tindakan
serta ketersediaan bahan baku di alam yang mulai sulit ditemukan.
Begitu banyak kisah canda, tawa,
duka, yang tercipta dari balik dinding-dinding kulit kayu itu. Besempuri,
bereko, hingga betore tentunya pernah mengalun-alun dari balik dinding yang
eksotik itu. Semuanya tentu kini menjadi kenangan yang sangat manis untuk
dingat dan diceritakan kembali. Walaupun sebagian mengatakan saat-saat itu
adalah masa yang sangat sulit jika dibandingakn dengan kehidupan saat ini,
namun hidup saat itu yang selalu berdampingan dengan alam membuat sesuatu hal
tersebut tak sulit dan merasa kekurangan. Mereka memperlakukan alam dengan
bijak dan alam pun akhirnya memberikan upah yang memang seharusnya mereka terima.
Tradisi yang selalu menjadi bagian
dari sebuah cerita ketika kita berbicara tentang Paser tentunya sangat
disayangkan jika harus lenyap begitu saja. Ada orang yang paham hanya dari
membaca dan mendengar, namun ada pula yang baru paham ketika sudah melihat
langsung. Dengan demikian, sebenarnya melestarikan bentuk rumah “upak kayu” ini
merupakan suatu hal yang sangat seksi untuk dilakukan oleh pemerintah daerah
setempat. Membangun sebuah daerah tentunya tak harus mengorbankan
tradisi-tradisi yang ada dalam masyarakat aslinya. Memang ada pendapat untuk mejadikan
sesuatu itu butuh pengorban, namun pengorbanan itu janganlah sampai seperti
kita hendak membeli pulsa dengan menjual ponselnya.
Melestarikan itu bisa dilakukan seperti membuat landmark
bertemakan “louq upak” ini. Kita ketahui bersama bahwa masyarakat saat ini
sangat haus akan tempat-tempat rekreasi maupun hanya sekedar santai-santai
menanti senja belalu berganti malam. Mengapa tempat-tempat tersebut tidak
menampilkan beberapa unsur sejarah yang berkaitan dengan tradisi setempat. Rekreasi itu tidak hanya menyegarkan kembali
pikiran namun sambil memenuhi keinginan tersebut kita juga bisa mendapat
hal-hal yang informatif sebagai pengetahuan kita. Dengan demikian selain
menambah nilai ciri khas suatu daerah, melestarikan “louq upak” ini bisa menjadi
media pembelajaran tentang tradisi setempat bagi anak-anak, remaja, orang tua dan lain sebagainya.
6. Sistem Barter (Setumpu).
Sistem
barter memang pernah menjadi tradisi berbagai suku yang ada di Indonesia. Sistem
barter adalah proses transaksi perdangangan dengan saling bertukar barang. Sistem
ini pernah dilakukan ketika nilai uang belum dijadikan sebagai alat pembayaran
dalam transaksi jual-beli.
Suku Paser mengenal kebiasaan
setumpu ini sejak adanya interkasi perdangangan dengan berbagai suku lain dari
luar daerah. Pada zaman dahulu orang Paser banyak membawa hasil kebunnya untuk
ditukarkan dengan garam, belacan atau barang yang lainnya yang dibawa oleh
mereka-mereka yang kebetulan datang ke pasar-pasar di wilayah Paser. Pada awalnya
transaksi-transaksi itu lebih banyak dilakukan di pasar-pasar apung. Pasar
apung sendiri terbentuk karena pada zaman itu hanya ada perahu sebagai alat
transportasi yang dimiliki penduduk. Penampakan alam Kalimantan yang memiliki
banyak sungai inilah yang mendorong kegiatan perdangangan banyak dilakukan
disungai-sungai. Perkampungan-perkampungan penduduk juga lebih banyak terdapat
di sekitar aliran-aliran sungai di Paser.
ilustrasi Barter zaman dulu via simburnaikupdate.wordpress.com
Pada saat transaksi jual-beli sudah
mengenal uang sebagai alat pembayaran, dibeberapa pasar tradisional di wilayah
Paser juga masih ada yang setia dangan kebiasaan sistem barter ini. Pada tahun 1998-1999
di pasar tradisional Long ikis misalnya, saya masih menjumpai transaksi barter
ini yang dilakukan ine’ saya sendiri saat itu. Kebetulan ine’ saya saat itu
masih sering berjualan ke pasar-pasar untuk menjual hasil kebun sendiri. Barang
yang dibarter saat itu adalah buah pinang yang kemudian ditukar dengan tambi
*(sejenis kerang/tudai). Terkadang penukaran buah pinang itu juga dengan ronto
*(permentasi udang rebon) atau jenis hasil laut lainnya. Transaksi barter saat
itu memang hanya dilakukan pada pedagang-pedagang suku Bajau. Dari suku Bajau
sangat membutuhkan buah pinang untuk menyompa (menginang), sedangkan buah
pinang banyak sekali terdapat di samping-samping rumah orang Paser. Dengan demikian
buah-buah pinang itu pun di tukar dengan barang-barang yang dijual oleh orang
Bajau tadi. Orang Bajau bisa menginang, orang Paser dapat lauk pauk tanpa
mengeluarkan sepeser rupiah.
Kebiasaan barter atau setumpu dalam
bahasa Paser ini saat ini memang sudah banyak tidak dilakukan. Masyarakat kini
sudah menggunakan uang sebagai alat tukar dalam transaksi jual-beli. Dan jika
itu masih ada, kemungkinan hanya dalam skala kecil saja, tidak seperti pada
masa-masanya dahulu kala.
7. Gerhana Bulan atau Matahari.
Peristiwa
gerhana bulan maupun matahari memang pernah memunculkan berbagai mitos di
masyarakat terdahulu. Seperti kisah Columbus saat berlabuh di Jamaica dan bertemu dengan penduduk asli setempat atau kisah-kisah yang lainnya, peristiwa gerhana ini memang memunculkan berbagai
pemahaman di kalangan masyarakat terdahulu.
Gerhana matahari via catatankoemars.com
Pada masyarakat suku Paser gerhana disebut dengan "Kelom". Dahulu kala
ada sebuah kebiasaan yang selalu dilakukan saat peristiwa kelom/gerhana bulan maupun
gerhana matahari sedang terjadi. Pada saat bulan atau matahari terlihat lenyap
dari bumi dan cahayanya pun tentu terlihat memudar, orang-orang akan sibuk seperti
membukakan semua tempat atau wadah yang memiliki penutup. Wadah-wadah itu bisa
seperti tempayan air, tempat menyimpan beras, panci, cerek, dan lain
sebagainya. Dari kebiasaan itu tentunya ada sebab-musababnya. Kisah lisan tentu
menyebabkan sebuah kepercayaan bahwa bulan atau matahari itu lenyap oleh
sesuatu hal. Seperti bulan atau matahari yang dimakan, bulan atau matahari yang
disimpan oleh mahluk tertentu dan lain sebagainya.
Kebiasaan itu kini tidak lagi
dilakukan. Masyarakat sudah mengalami perkembangan pada pola pikir mereka.
Tentunya ilmu pengetahuan yang diserap dapat menjelaskan mengapa kebiasaan itu
tidak lagi dilakukan.
8. Membuat Sagu (Nampaq Sagu)
Daerah
dataran rendah di wilayah Paser sejak dulu kala memang sudah banyak ditumbuhi
tanaman rumbia. Sebagaian besar penduduknya memanfaatkan tanaman rumbia itu
untuk diambil sari patinya menjadi sagu.
Membelah batang rumbia atau sagu via berandainovasi.com
Dibeberapa perkampungan suku Paser
dahulu kala ada sebuah tradisi yang menyangkut pohon rumbia ini. Tradisi itu
adalah membuat sagu beramai-ramai. Tradisi yang menyertakan banyak orang itu
biasaanya dilakukan ditepi sungai. Persediaan air yang melimpah tentunya alasan
mengapa kegiatan itu dilakukan di tepi sungai. Setiap ada kegiatan seperti itu
biasanya orang sekampung akan diundang untuk ikut berpartisipasi. Mulai dari
orang tua, remaja laki-laki amaupun remaja wanita, anak-anak akan tumpah ruah
ikut membantu atau hanya sekedar melihat langsung kegiatan itu. setiap orang
yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan itu pasti akan mendapat bagian
masing-masing dari upah keikutsertaan ia bekerja tentunya. Upah yang didapat
tak lain adalah sagu yang sudah jadi dan siap untuk diolah lebih lanjut dirumah
masing-masing.
Saat ini tradisi itu sudah tak lagi
dilakukan. Untuk didaerah yang berbeda mungkin masih ada yang melakukan
kegiatan mengolah sari pati rumbia menjadi sagu, namun sifatnya sudah personal
dan terkadang untuk kebutuhan jual-beli. Dengan adanya penjual sagu yang ada
dipasaran saat ini tentunya membuat kegiatan itu semakin enggan dilakukan.
Masyarakat kini jika ingin mengkonsumsi sagu hanya perlu membelinya secara
praktis tanpa ikut merasakan proses pembuatannya lagi sepeti saat dulu kala.
………………………………………………..****……………………………………………….
Itulah
beberapa kebiasaan yang dulu pernah dilakukan oleh orang-orang Paser. Beberapa
kebiasaan ini tentunya ada perbedaan diantara daerah satu dengan daerah
lainnya. Bahkan beberapa kebiasaan itu tidak semua ada disetiap daerah di
wilayah persebaran suku Paser. Dengan demikian bisa menjelaskan bahwa pasti
akan ada daerah yang memang tak memiliki kebiasaan-kebiasaan itu dan disisi
lain akan ada juga yang juga pernah memilikinya. Dan tidak menutup kemungkinan juga masih ada yang meyakini dan melaksanakan hal-hal tersebut.
*Semoga artikel ini dapat menambah wawasan Anda. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste / menyebar-luaskan artikel ini, namun Anda harus menyertakan link hidup dari artikel ini sebagai sumbernya. Mohon kerjasamanya dalam sedikit menghargai hasil karya dari Penulis.
Tabe.................................................................................
*Semoga artikel ini dapat menambah wawasan Anda. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste / menyebar-luaskan artikel ini, namun Anda harus menyertakan link hidup dari artikel ini sebagai sumbernya. Mohon kerjasamanya dalam sedikit menghargai hasil karya dari Penulis.
Tabe.................................................................................