Thursday, April 3, 2014

Olong Lembok, Kabupaten Paser.


 Memancing ke Muara Lembok.

Hari Sabtu 10/08/2013, suasana lebaran idul fitri masih sangat terasa. Karena baru dua hari yang lalu umat muslim merayakannya. Dan seperti biasanya, hari-hari setelah idul fitri banyak dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk berpergian, entah bersilahturahmi mengunjungi sanak keluarga yang jauh ataupun hanya sekedar bersilaturahmi dengan pantai atau tempat-tempat rekreasi lainnya yang biasanya sangat ramai dikunjungi selepas hari lebaran.
Tak berbeda cerita denganku, setelah hari jum’atnya aku lampiaskan untuk bersilaturahmi maka pada hari sabtunya aku berencana untuk memancing dimuara Lembok (Olong Lembok). Sebenarnya munculnya rencana tersebut tak lain karena hasil silaturahmiku pada hari jumatnya, kebetulan aku sedang bersilaturahmi ke rumah uda/pamanku yang berada di dusun maso desa Lembok kecamatan long ikis. Beliau mengutarakan padaku bahwa esoknya akan pergi memancing, dan sontak beberapa lampu menyala diatas kepalaku.
“Hahahahhaa..... kesempatan neh, kebetulan esoknya aku masih tak punya tujuan kemana akan pergi” kataku dalam hati.
Akupun mulai mengeluarkan jurus-jurus merengek agar bisa ikut, berguling-guling, dan yang terakhir adalah jurus mata sayu milik meog sikucing yang meminta belas kasian. Namun tanpa sempat aku mengeluarkan kesemua jurus itu, udaku sudah mempersilahkan aku untuk ikut.
“Yeeeeeeeeeessssssssssssss......!!!!!” aku guling-guling kegirangan dalam hati saja.
Pada dari sabtu  pukul 09.21 pagi, aku sudah mempersiapkan segala kebutuhan untuk memancing. Namun ada sesuatu yang berbeda dengan diriku saat itu sejak pagi, yaa.... ada sesuatu yang selalu mengawasi gerak-gerikku sejak pagi tadi. Seorang anak laki-laki yang masih kecil yang mengaku baru kelas tiga SD inilah yang terus mengawasiku dari tadi. Dia keponakanku sebut saja namanya ikie, anak laki-laki tulen katanya tapi saat kecilnya sangat takut pada kupu-kupu dan menyukai warna pink ini terkadang memiliki pemikiran yang sangat briliant namun selalu menjadi objek pelampiasan adiknya yang selalu memberi perintah-perintah yang super extream, sungguh tragis sekali nasibnya.
Ikie masih saja mengawasi gerak gerikku. Aku pergi kedapur ia juga mengikutiku dari jauh dibelakang. Kini aku merasa seperti seorang teroris dengan banyak bom dibalik mantelku yang terus diawasi oleh agen mata-mata amatiran dari arah belakangku. Agen mata-mata itu tak lain adalah Ikie, menggunakan kacamata berwarna pink sembari memegang sesuatu disaku celananya yang ku yakini itu pasti sebuah sisir berwarna pink yang sangat mematikan. Kemungkinan efek dari sisir tersebut adalah membuat tidur pulas korbannya hingga tiga hari tiga malam. 
“Benar-benar senjata yang berbahaya, beruntung hanya dalam hayalan saja” ucapku sembari geleng-geleng kepala.
Diluar khayalanku Ikie masih saja mengikuti kemanapun aku berada, keteras bawah, kedapur lagi, ke kamar mandi, ke toilet.
            “Upss... ini toilet.....!!!!! sana-sana...!!! ngak usah ikut” teriakku sambil mengusir pergi Ikie.
            “Oh iya paman,.. baiklah, jika aku ikut kedalam aku pasti tidak selamat”kata Ikie sembari pergi dari tempat itu.
Tak berapa lama aku kemudian keluar dari bilik tempat melepas kesulitan itu, saat aku keluar ternyata Ikie masih duduk menungguku di ruang dapur.
            “Paman..... paman mancing kah hari ini?” tanya Ikie.
            “Yaa... kenapa emangnya, pasti mau ikut?”sambungku.
            “Ikuuuuuuuuuuuuuuuuuuutttt,.....paman ikut yah”rengek Ikie.
Kasian bercampur iba juga aku melihat keponakanku satu ini. Hanya dia yang tak bisa ikut bertamasya ke tanjung Jumlai (Penajam Paser Utara) lebaran tahun ini. Berbeda dengan ponakan-ponkanku yang lainnya yang sudah dalam perjalanan semua. Sudah menjadi kebiasaan tahunan  jika setelah hari lebaran pasti berbondong-bondong orang mengerumuni tempat-tempat rekreasi, tak terkecuali di kampungku. Tempat paling terlaris dikunjungi adalah pantai tanjung jumlai. Tahun ini Ikie tidak bisa ikut bertamasya karena keadaan yang kurang memungkinkan ditambah dato dan nenenya juga tak punya rencana untuk bertamasya. 
Akhirnya Ikie melihat cahaya yang sangat berseri-seri dari wajahku, tangan kananku memegang pundaknya. Efek cahaya dari arah belakangku semakin terang saja hingga Ikie mencoba menghalangi dengan tangannya namun semua sia-sia. Diantara terang benderang efek cahaya itu aku berkata;
            “Ikie,..... ikutlah bersama paman” kataku dengan merdu
      “Baik paman, terima kasih paman” kata Ikie yang kini menggunakan kacamata pinknya untuk menghalangi efek-efek cahaya yang membuat aku mirip malaikat seperti di pilem-pilem.
            “Okeh, langkah pertama kalau Ikie mau ikut mancing harus izin dulu sama ayah Ikie”pintaku.
            “Iya paman”sambung Ikie semangat.
Ikie pun pergi untuk minta izin pada ayah dan ibunya, sementara aku melanjutkan aktivitas kekamar mandi.
            “Mau mandi dulu”.

            Setelah selesai melaksanakan adegan basah-basahan dikamar mandi dan telah berpakaian lengkap, aku segera melanjutkan mempersiapkan perlengkapan memancingku. Harus membuat satu lagi pancingan untuk Ikie. Terpaksa aku harus memodifikasi pancingan yang bisa kugunakan diair tawar menjadi pancingan yang memiliki kerekan riil. gandar stick pancingnya bisa dipasang kerekan untuk menarik ulurkan senar pancingnya. Walaupun rencananya kerekan/ riilnya hanya dari botol bekas minuman ringan.
Dalam waktu bersamaan Ikie sudah muncul dengan penampilan yan sudah siap pergi, bertopi, baju lengan panjang dan celana panjang juga, ternyata Ikie sudah mendapat izin untuk pergi.
            Sambil terus mengunyah-nguyah makanan ringan Ikie terus mengawasiku saat membuat alat pancing untuknya. Kebetulan Ebet juga sudah datang dan mulai juga mempersiapkan pancingannya. Kami sama-sama mengerjakannya di teras samping rumah.
            “Paman...., aku pake pancing apa” Tanya Ikie sembari mengunyah makanan dalam mulutnya.
            “Ini sudah paman buatin spesial buat Ikie” Jawabku.
            “Yeaaaaaaaaaaaaaaaa..............!!!” Girang Ikie.

Aku pun melanjutkan membuat pancingan itu. Menggulung beberapa kawat agar bisa menjadi tempat senar/tali pancing yang dilanjutkan menempelkannya pada gandar pancing. Setelah beberapa menit kemudian, dengan sedikit usaha yang keras dan terkadang mengalami sedikit hambatan akhirnya semua kawat terpasang dan siap untuk dipasang tali pancing, namun tiba-tiba Ikie angkat suara.
            “Paman...., aku mau pancing yang pake lempar itu yah” Kata Ikie.
            “Ini sudah pancing yang dilempar itu” Kataku sembari menunjukkan hasil karyaku.
            “Oh...., kayapa ngelemparnya paman..?”
            “Yaaaa di lempar.., di ewis gandar pancingnya”
            “Aku nda mau yang ada gandarnya ..”
            “Lho..... maunya yang kaya apa” aku mulai bingung.
            “Pancing yang biasanya buat mancing ke sawa’(hilir) itu nah paman”sambung Ikie lagi.
            “Pancing apa...?” Tanya Ebet yang penasaran juga.
            “Pancing yang pake botol itu nah” Jawab Ikie.
            “Ini nanti ada botolnya, tempat gulungan tali pancingnya”Jelasku.
            “Bukan, kalo ini nanti nda bisa makenya, pancingnya yang dilempar aja itu nah” Terang Ikie lagi.
            “Ambur nte yo ene (pancing ambur untuknya itu)” Kata Ebet.
            “OOOOOaalllaaaaaaaahhh..........pancing yang nda pake gandarnya kah kie” Tanyaku.
            “Iyaaaaaaa,” Jawab Ikie.
Ternyata pekerjaanku membuat pancingan itu tadi sia-sia.
            “Adooooooohhh,.. Ikieee, coba bilang dari awal mau pancing ambur, jadi paman ngak repot buat pancingan”Cerocosku pada Ikie.
            “Aku nda bisa pake pancing yang ada kerek-kerekan itu, susah” Lanjut Ikie.
            “Ya sudah ne pancingnya paman bongkar” Kataku.
Aku kembali membongkar lilitan benang yang mengikat kawat-kawat di gandar pancing, setelah kelar kemudian membuat pancing model ambur yang simple yang hanya bermodalkan tali pancing yang digulung disebuah botol, mata pancing, dan pemberat.
            “Oke sudah selesai”
            “Jalankah sudah paman?”Tanya Ikie.
            “Sebentar dulu, paman telpon dulu nanya sudah siap jalan kah mereka  di lembok sana” Kataku sambil mengambil telepon genggamku.


Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 10.56 namun saat ku telpon sepupuku di Lembok sana, mereka belum siap untuk berangkat. Masih dalam persiapan katanya.
Ya sudah , kita masih menunggu kabar selanjutnya. Mengingat hari semakin siang, Ebet sudah nampak resah menunggu, begitu juga dengan dengan ikie. Berkali-kali mereka menanyakan apa sudah bisa berangkat sekarang. Nampaknya mereka sangat bersemangat sekali untuk segera berangkat.
Dalam penantian yang terasa amat panjang itu, ikie sibuk dengan bekalnya yang terus ditambah oleh neneknya (ema’ku) untuk dibawa dalam tas.
            “Waduuuh..... Kie, banyak betul bontotmu ini, semoga aja hasil mancingnya nanti sesuai sama banyak bontotnya neh”Kataku.
            “Nene yang masukin, Hehehehe....”Sahut Ikie.
Tas ranselku yang tadinya ramping kini nampat tambun dan melar bergelambir kemana-mana.
            “Harus ikut program diet dulu ne ransel”Pikirku.
Aku kembali membongkar si ransel itu dan kemudian lebih selektif memilah barang barang yang benar-benar perlu dibawa.
Bekal nasi plus lauk pauk, oke dibawa. Air minum ada dua botol besar dan satu botol kecil yang sudah terkontaminasi dengan serbuk minuman rasa-rasa, botol kecil ini ternyata special Ikie yang punya jadi ngak bisa ditinggal. Terpaksa dah satu botol besar di tinggal aja, jadi persediaan air minum hanya satu botol besar dan satu botol kecil rasa-rasa.
Toples isi kue lebaran neh kayanya harus di minimalisirkan, okeh,,... jadikan saja bermacam-macam jenis kue lebaran itu di satu toples dan biarkan mereka menemukan jodoh mereka masing-masing dalam toples itu, ‘Eh’... terakhir perlengkapan cadangan pancing cukup hanya dalam satu box kecil.
            “Okeh selasai, kalo begini kan lebih simpel” Kataku sambil memamerkan ransel yang sudah sukses melakukan dietnya dalam sekejap.
Sumpah...., ngak ada yang terkesima sama sekali. Ikie hanya sibuk dengan menguyah dan Ebet terlihat masih gelisah. Hanya ada anggapan sinis dari ema’ku.
            “Nda kah kurang airnya itu nanti disana..?”Kata Ema’.
           “Tenang aja, ini saja sudah cukup, apalagi ini sudah hampir tengah hari, kemungkian disana nda terlalu lama”Sahutku.
            “Kaya apa ini, berangkat sekarang aja kah”Potong Ebet yang sejak tadi memang gelisah mau cepat berangkat.
            “Ya sembarang ja dah, nunggu disana aja kita sekalian”Sambungku.
Setelah berpamitan kami langsung berangkat menuju Lembok (Rumah Pamanku). Ikie ikut Ebet di motor Honda Verza hitamnya sedangkan aku sendiri dengan mengendarai Honda Supra X125 warna kuning hitam. Hehehe..... kupikir pasti medan jalannya nanti agak waah makanya aku pake motor itu.
            Tak berapa lama akhirnya kami bertiga sampai di rumah Uda Astani di dusun Maso desa Lembok. Baru saja aku menginjakkan kaki di teras rumah, tiba-tiba muncul uda Astani, Ben (Abd Hassan) , dan Saini dengan mengendarai motor. Sepertinya mereka baru saja dari simpang pait. Setelah ku tanya, benar saja uda Astani ternyata baru saja dari simpang pait untuk membeli pancing buat Husaini dan membeli umpan pancing dari pasar.

Dirumah uda Astani kami harus sabar menunggu dulu, karena mereka akan mengisi perut dulu sebelum jalan. Kami bertiga juga sebenarnya ditawari makan bersama dulu namun perut kami sudah diisi full tadi dari rumah. Terpaksa dah “sintap” saja, hehehe........
            “Neh kie sintap dulu, kasih paman ebet itu juga ” Kusodorkan beberapa biji nasi masak pada Ikie dengan maksud ia memberikan juga pada Ebet.
Namun apa yang terjadi, entah apakah karena masih lapar atau rasa biji nasi tersebut sangat lezat, biji nasi masak yang harusnya di berikan juga pada Ebet habis dimakan Ikie.
            “Hahahaha,.......” Aku hanya bisa tertawa.
Sintap memang tradisi di masyarakat Paser yang sudah melekat turun temurun, jika ditawar makan namun kita menolak maka kita diwajibkan untuk sintap dengan cara menyentuhkan nasi pada pipi, tangan atau kaki kita. Jika tidak dilaksanakan dikhawatirkan bisa menyebabkan “tapen” atau istilah umumnya kepohonan. Percaya atau tidaknya tergantung pada individu masing-masing, namun sesungguhnya dibalik sintap itu jelas terselip makna agar kita lebih menghormati tawaran orang lain dan juga menghormati makanan yang ditawarkan pada kita, hal ini sedikit membuang rasa ponggah, sombong kita terhadap orang lain dan juga pada makanan.
            Akhirnya Ebet diambilkan sintap yang baru dan Ikie hanya terlihat nyengir-nyengir saja  karena sadar kelakuannya yang ternyata membuat paman Ebetnya tak mendapat sintap.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya kami benar-benar berangkat menuju tempat memancing. Setelah semua persiapan uda Astani selesai di cek and ricek, akhirnya kami berangkat.
            “Bruuuummm....., Bruuuummm” semangat suara gas motor untuk berangkat.
Uda Astani, Ben, Husaini berangkat dengan satu motor. Kami mengendarai sepeda motor hingga simpang empat Lembok yaitu perempatan jalan yang menjadi lintasan perusahaan. Kami berbelok kearah kanan yang merupakan jalan kearah bawah (daerah pesisir).
Setelah masuk kearah jalan perusahaan tersebut kami berhenti sejenak dipinggir jalan. Kami berhenti karena menunggu uda Astani yang ingin membeli jangkrik untuk umpan ikan sumpit, rencananya Husaini yang ingin memancing ikan sumpit dan katanya umpan yang lumayan top adalah jangrik.
 ( Panah merah : arah ke pelabuhan , panah kuning: arah ke simpang pait )

(menunggu sejenak)

Setelah beberapa menit menunggu akhirnya mereka (Uda Astani, Ben, Husaini) datang dan kami segera melanjutkan perjalanan kami.
Suara deru mesin kendaraan roda dua mengiringi perjalanan kami. Dijalan berbatu yang lumayan mulus dan terawat. Dan tentunya dikanan dan kiri yang selalu berjejer rapi pokok-pokok kelapa sawit yang sudah sangat tinggi menjulang. Sesekali ada rumah warga dan sebuah gentung/kolam besar yang dapat kita lihat dan memberikan kesan tersendiri bagi diriku pribadi. 

Ya... melihat gentung itu aku teringat saat masih anak-anak dahulu saat masih sering melewati jalan ini. Saat itu adalah saat-saat uma’ku masih bekerja di sebuah perusahaan kayu yang jalan perusahaannya adalah yang kami lewati ini.
Pada jalan perusahaan ini kita harus mengikuti rambu-rambu yang sudah terpasang dipinggir jalan di setiap kita bertemu tikungan. Tidak seperti dijalan raya dimana kita selalu berjalan diarah kiri terus, nah dijalan ini jika sebelumt tikungan ada rambu bertuliskan kanan maka posisi lajur kendaraan kita hasur berpindah kearah kanan, dan begitu pula sebaliknya jika kita melihat rambu bertuliskan kiri, maka kita harus kekiri.
Setelah terus berkendara kemudian kami bertemu pertigaan jalan, pada pertigaan tersebut kami berbelok kearah kiri dan terus melanjutkan perjalanan. Kini dikiri-kanan jalan tak melulu kita melihat pokok sawit, terkadang kita akan menjumpai sedikit hutan yang menghiasi bibir-bibir jalan dan ada persimpangan menuju perusahaan-perusahaan yang berada di pinggir sungai lembok lainnya, namun kita tetap memilih jalan lurus yang meuju pelabuhan perusahaan nikel. Dalam perjalanan tersebut walaupun jarang kita juga bisa melihat rumah-rumah sederhana dari warga setempat.  Dan ternyata tak jauh dari pemukiman tersebut nampak dikejauhan portal/pos penjagaan perusahaan. 

Awalnya ada perasaan resah dan gelisah saat melihat pos penjagaan itu. Jangan-jangan diperiksa pake metaldetector ntar. Wah bisa gawat kalau kaya begitu, didalam ranselku kan banyak senjata tajam dan bahan-bahan metal lainnya. Belum lagi jika ada pemeriksaan identitas lainnya.

Tapi setelah kuperhatikan mereka yang berada didepanku dengan santai saja melewati celah sedikit sempit yang berada dekat dengan pos penjagaan yang ternyata memang buat leat kendaraan bermotor, sedangkan jalanan buat mobil masih tertutup portal. Aku pun meleati celah jalan sempit itu dan aku masih dibelakang dua motor Ebet dan Ben. Dan jalanan pun mulai terasa sedikit genit pada roda motorku.
            “Harus mulai ekstra hati-hati neh” pikirku.
Jalanan tanah yang tadinya berbatu kini hanya tertinggal tanahnya saja ternyata. Dan mulailah adegan goyang kupu-kupu pada motor. He...., tapi masih bisa diatasi dengan mudah hingga akhirnya kami sampai pada spot pemancingan yang pertama. 
Setelah melewati jalan setapak yang dikelilingi semak belukar khas hutan bakau akhirnya kami tiba ditepi sungai.


 Sepertinya tempat itu memang menjadi spot andalan pemancing, buktinya daerah tepinya sudah sangat bersih dari semak belukar dan walaupun ditepi sungai tanah nya tak lembek berlumpur. Tapi sayang, nampaknya air sedang surut dan arusnya sangat deras. Berkali-kali mencoba melempar kail ke air yang terlihat keruh itu selalu saja mata kail kami terbawa arus ke pinggir. Tidak cepat putus asa kami terus mencoba namun nampak sia-sia saja bahkan terkadang pancingku menyangkut. 

Disela-sela kami terus berusaha tersebut tiba-tiba kami dikejutkan oleh sebuah penampakan di air yang berada jauh di dekat tepi sungai seberang sana. Ebet lah yang pertama kali melihat penampakan tersebut, sebuah riak seperti batang kayu yang melawan arah arus sungai, berwarna gelap dan seperti adegan-adegan di chanel National Geo Wild.
            “Bayo itu ......!!!!”Kata Husaini dengan semangat.
            “Huuuuuusshhhh,,.. nda boleh ngomong kaya gitu”cetus Ben.
            “Hahahahhaha” Tawa Ebet karena mendengar kata-kata Husaini.
Biasanya ada pantangan jika sedang dekat dengan air itu dilarang menyebutkan nama binatang buaya tersebut. Entah buaya atau biawak yang pasti aku juga sempat melihat bentuk moncongnya yang tampak panjang, namun sayangnya aku tak sempat memotretnya dan penampakan itu langsung hilang karena menyelam. Daerah pelabuhan telen ini memang terkenal akan buayanya, sudah banyak cerita-cerita dari mulut ke mulut tentang buaya-buaya ditempat itu. 

            Setelah usaha di spot pertama itu dirasa gagal karena air masih kencang arusnya, kemudian kami pergi dari tempat itu dan menuju pelabuhannya. Perjalanan menuju pelabuhan ini ternyata tak semudah yang aku kira. Setelah melewati tenda-tenda tempat penampungan nikel kemudian kami dihadapkan pada kondisi jalan yang genit lagi, dan yang ini jauh lebih genit lagi kini bukan goyang kupu-kupu lagi namun sudah menjadi goyang kupu-kupu sekarat megap-megap.
Geal-geol,,............geaaallll...geoooolll ... dan akhirnya kami sampai disebuah pondok dekat pelabuhan. Dipondok tersebut ada dato/pria tua yang menyambut kedatangan kami dan seekor anjing yang sepertinya menjadi sekuriti di tempat itu, uda Astani pun meminta izin mau memancing memancing di dermaga pelabuah yang letaknya tak jauh dari pondok tersebut. Si dato pun mempersilahkan kami untuk memancing. 
 (spot kedua )

         Okeh,,.... kami segera menuju dermaga. Ikie dan Husaini nampak bersemangat berlari menuju dermaga tersebut dan kami bertiga menyusul dibelakang. Saat kami bertiga berjalan yang hampir beriringan itu, sayup-sayup imajinasi liarku muncul. Suara soundtrack “Limp bizkit – take a look around” menggema mengiringi langkah kami dengan gaya slow motion. Seperti film laga Tom cruise langkah pasti kami cerminkan rasa optimis. Hembusan asap rokok Ebet berkeliaran bak mafia kelas kakap yang siap mengeksekusi hasil pancingan nanti. Tampang wajahnya yang sangat gregeeeet bagai maddog di film the raid membuat anjing tadi meneguk liur dan tak berani lagi untuk menggonggong. Semua wajah kami sebenarnya memancarkan suatu harapan yang sama, yaitu ingin mendapatkan ikan. Saat sampai didermaga, aku pikir tak ada orang yang memancing selain kami karena diatas dermaga tak ada seorangpun nampak sedang memancing. Ternyata dugaanku salah besar, aku kaget ketika melihat kearah bawah dermaga disisi sampingnya, ternyata sudah ada beberapa orang yang sedang asyik memancing disitu.
Hehehe,... katanya sih biar ngak panas gitu. Okelah ... atur saja, aku dan yang lainnya segera mempersiapkan piranti pancing dan memasang umpan dari udang yang masih segar (namun sayang sudah meninggal semua udangnya). Ikie dan Husaini juga sibuk dengan pancing mereka, khusunya buat ikie dia juga sukses memnuat aku ikut sibuk dengan urusannya. Setiap kali giliran melempar kail pasti aku yang diperintahnya. Namun lama-kelamaan kedua bocah ini sibuk dengan kegiatan memancing ikan kipar dan sumpit dibawah dermaga. Terpaksa keduanya tetap menggunakan udang sebagai umpannya, karena jangkrik yang tadi mereka cari sedang kosong (tidak ada yang jual).

Setelah sekian lama kami menanti ada yang menarik pancing kami dengan ikan yang besar namun semunya terasa hanya imajinasi semu kami saja, hanya beberapa ekor ikan tanda-tanda yang bisa didapatkan. Semakin siang orang-orang mulai banyak berdatangan kedermaga untuk memancing juga. Ternyata banyak juga yang mengalihkan tradisi jalan-jalan ke tempat wisata (Tanjung Jumlai) saat usai lebaran dan lebih memilih untuk pergi ketempat ini (dermaga) untuk memancing. Disela penantian itu kami dikejutkan oleh suara gaduh diarah sisi samping dermaga, dan serentak kami bergegas kearah suara gaduh. Dan saat melihat kebawah ternyata ada seorang anak yang sedang mengambil seekor ikan loang/ ikan bulan-bulan di tepi sungai yang berlumpur. Lumayan besar sih, entah bagaimana ia mendapatkan ikan tersebut. Namun sepertinya dengan pancingnya yang masih dipegangnya itu, karena sebagian orang mengatakan seperti itu.
Waaahhh,,..... sinyal bagus neh sebagai penyemangat baru untuk kembali menanti tarikan ikan di kail pancing kami. Namun berbagai usaha yang telah kami lakukan, tetap saja masih nihil. Bahkan Uda Astani sudah mencoba mengganti umpannya dengan anak ikan yang masih hidup. dan Uda juga mencari pumpun/ cacing laut yang ada di pinggir sungai berlumpur tak jauh dari dermaga sebagai umpannya. Kini sudah ada tiga jenis umpan yang telah kami coba, dan yang mendapat respon sepertinya ada pada umpan pumpun tapi tetap saja belum ada straike ikan yang memuaskan.
            Terik matahari sangat menyengat membakar kami yang sedang berada didermaga. Ini benar-benar seperti sedang dalam proses pengeringan pada ikan asin. Sambil sesekali mengunyah cemilan kue khas lebaran dari dalam toples kami masih setia menanti. Karena cuaca yang sangat panas ini menyebaban gejala dehidrasi semakin meningkat, terlebih pada Ikie, sejak tadi ia yang paling sering minum hingga persediaan air minun rasa-rasa miliknya sudah ludes sejak tadi. Sepertinya musim kemarau extream sedang melanda botol persediaan air minun ikie, Kini ia mulai menjajah persediaan air minum pada botol besar persediaan kami hingga hanya tinggal separuh isinya. Dalam usaha penjajahan tersebut akhirnya ikie mengutarakan isi hati/perasaannya namun menurutku lebih pada mengutarakan isi perutnya.
            “Paman, laaaaaappppaaaaaaaaaaaaaaaarrr”Kata Ikie.
            “Ya makan, neh bawa bontot/sangumu ajak Saini makan di pondok sana”Kataku.
            “Sama Paman” Sambung Ikie.
            “Bobooohhh,,.. Paman masih mau mancing ini, ajak Saini sana biar ada temannya” Terangku lagi.
Namun Ikie tetap tidak mau. untunglah beberapa saat kemudian Ebet  bersedia menemai Ikie dan Saini, karena nampaknya dia juga sudah maulai lapar... 
             "Mulai lapar...mulai laparr...."
             "DIIIIIIAAAAAAAMMMMMM...........!!!!!!!" 
segera kuambilkan tempat makanan segi empat dari dalam ransel dan memberikannya pada Ikie.
             "Dihabiskan yah kie" pesanku.
             "Iya paman" Jawab Ikie.
 Mereka pun bergegas ke pondok dan wajah Ikie pun akhirnya memancarkan aura kebahagiaan. Bagiku pribadi masih kuat tak perlu ikut makan karena berhubung persediaan lemakku masih melimpah untuk ditransformasi menjadi tenaga....hehehehe.
          Setelah selesai makan Ikie dan Saini kemudian kembali datang ke dermaga. mereka langsung mengambil pancing mereka masing-masing dan mulai memancing ikan julung-julung di sisi samping dermaga. Mereka nampak riang sekali memancing ikan julung-julung karena ikan permukaan itu memang sangat gampang untuk dipancing, walaupun cuaca panas terik matahari masih tak jua kunjung pergi. 
Panasnya memang sangat luar biasa, kasian juga aku melihat Ikie keponakanku yang dari tadi masih sangat menikmati kegiatannya sendiri.


     Tak terasa cuaca panas itu telah membuat persediaan air minum kami semakin kritis. Bahkan persediaan satu botol besar yang aku bawa juga sudah habis. Hehehe..... terpaksa menjajah air minum yang dibawa Uda Astani. Cuaca panas itu membuat aku terkadang lari kepondok untuk berteduh dan beristirhat. saat aku ingin ke pondok beristirahat, nampak dato sepertinya ingin pergi. dengan menggendong anjat serta mendau dipinggangnya beliau berangkat dengan dibonceng seseorang menggunakan sepeda motor. 
Cuaca panas itu juga akhirnya membuat kondisi Ebet mengalami sedikit masalah, dia mulai merasakan sakit yang menjadi-jadi dikepalanya. Sebelum berangkat tadi ia memang sedikit mengeluhkan gejala kurang sehat namun karena judul perjalanannya adalah "memancing", jadi  tak bisa ia lewatkan.
Kasihan sekali dia, dengan kondisi cuaca yang sangat panas dan ditambah hawa air asin muara ini pasti sangat menyiksanya. Awalnya ia mencba mengatasinya dengan beristirahat di pondok tapi masih belum ada perubahan. Dan akhirnya ia pamit untuk pulang lebih dahulu.
Yaa... kami pun mempersilahkannya pulang lebih dahulu karean ditakutkannya semakin lama nanti malah ngak bisa mengendarai motornya, kan ngak mungkin Ikie yang membonceng Ebet. 
        Setelah menitipkan pancingnya padaku Ebet langsung menuju pondk lagi dan langsung pulang. Kini tersisa aku, Ikie, Uda Astani, Ben (Hassan) dan Husaini serta pengunjung- pengunjung lain yang juga nampak asyik dengan penantian panjang akan straike di dermaga panas itu.
       Pada pukul 17.00, akhirnya kami juga memutuskan untuk mengakhiri kegiatan memancing kami. Hanya ada beberapa ikan julung-julun dan ikan tanda-tanda. Yah semuanya patut kami syukuri karena seperti kata Uda Astani: "Alhamdulillah...... kuli miwit, keo beh belo , roa beh belo pengkuli miwit yo, yo penting bersyukur aso kuli miwit yo".
Jika di translete ke Bahasa Indonesia : " Alhamdulillah.... dapat mancing, ada atau tidak, banyak atau tidak pendapatan mancingnya, yang penting bersyukur masih bisa/ dapat memancingnya". arti maknanya adalah kita harus bersyukur masih bisa melaksanakan kegiatan memancingnya.

      Bagiku pribadi, perjalanan ini memberiku sebuah pelajaran; " Jangan kau sedia payung kecil jika kau masih belum tau hujan seperti apa yang akan kau hadapi". karena mengira persediaan air minum satu botol besar dan satu botol kecil cukup, aku tak mengindahkan perintah ema'ku untuk membawa dua botol besar air minum, dan bencana kekeringan botol air minum pun akhirnya terjadi.
Aku dan Ikie serta Husaini lebih dahulu pergi ke pondok. sambil menunggu Uda dan Ben yang masih di dermaga, Ikie dan Husaini berphoto ria dulu.

Beberapa saat kemudian Uda dan Ben muncul dan kami pun bersiap meluncur pulang. kembali melewati jalan yang tadi kami lewati. namun kini jalannya sudah mengeras dan tak licin lagi. dalam perjalanan pulang itu Ikie yang kini kuboncengi sibuk memotret-motret apapun dijalan.
Kembali melewati tenda raksasa yang sangat berdebu, melewati pos penjagaan dan meluncur mulus di jalan yang tadi kami lewati. Saat melewati jalan yang nampak dikakan-kirinya rimbun karena pepohonan, mataku tertuju pada sebuah bangunan yang terlihat sudah usang. Yaa... bangunan itu adalah sebuah masjid, karena nampak kubahnya yang masih utuh walaupun sebagian besar atapnya telah tertutup oleh semak belukar. aku pun berhenti sejenak dan memotretnya. menurut cerita dahulu ditempat itu adalah pemukiman warga. daerah itu sering disebut dengan nama Tajur lama. karena adanya program perkebunan plasma kelapa sawit didaerah tajur yang sekarang, akhinya para penduduknya melakukan perpindahan penduduk secara besar-besaran ke daerah tajur yang sekarang untuk mencari penghidupan yang lebih baik. kemungkinan perpindahan itu karena didaerah itu tak lagi memiliki sesuatu yang menjadi mata pencarian warga pada saat itu. Didaerah sekitar banguan itu sekarang memang nampak seperti hutan belantara.
      Setelah selesai memotret aku dan Ikie melanjutkan perjalanan kami. dan ternyata uda Astani yang tadi berada di depan kami juga ikut singgah karena melihat kami berhenti. mungkin mereka takut ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada kami.

Syukur alhamdulillah setelah menempuh perjalanan pulang, akhirnya kami sampai dirumah. Aku dan Ikie disambut oleh orang-orang dirumah.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment