Tuesday, April 28, 2015

Mengenal Tradisi Suku Paser yang Mulai Hilang


Tradisi adalah kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat (KBBI-offline1.2). Suku Paser memiliki kekayaan ragam tradisi adat budayanya yang telah diwariskan turun-temurun dari zaman itak-kakah nenek moyang mereka terdahulu. Sebagai salah satu klan suku yang besar yang ada di pulau Kalimantan, Suku Paser memang hampir mendiami berbagai kondisi topography yang ada diwilayah penyebarannya. Mulai dari dataran tinggi atau pegunungan yang disebut “Bawo”, dataran rendah termasuk tepi-tepi sungai dan rawa-rawa, hingga daerah pesisir. Setiap perbedaan lingkungan tempat tinggal tersebut akhirnya dapat menciptakan berbagai kebiasaan masyarakat yang beragam pula. Selain murni muncul dari masyarakat itu sendiri, beberapa hal tersebut tentunya juga ada yang dipengaruhi oleh intensitas interaksi masyarakat itu dengan nilai-nilai yang mendatangi mereka.
Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat Suku Paser ini pun kini ada yang masih terus dipertahankan, namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa sebagian dari kebiasaan-kebiasaan tersebut kini ada yang mulai sulit ditemukan lagi. Beberapa kebiasaan itu sulit ditemukan lagi bahkan memang kebiasaan-kebiasaan itu sudah tidak dilakukan lagi. Hilang bahkan tidak dilakukan lagi itu bukanlah tanpa adanya alasan yang bisa dijelaskan. Ada beberapa hal yang sangat berkaitan erat mengapa beberapa kebiasaan itu bisa ditinggalkan. Mulai dari efek dari perkembangan zaman yang meliputi, perkembangan pola pikir masyarakat, perkembangan system yang berlaku dalam masyarakat, hingga faktor alam yang ada dilingkungan masyarakat itu tinggal atau menetap.
Beberapa kebiasaan ini juga tentunya akan berbeda pada tiap-tiap sub-suku Paser itu dimanapun berada. Ada yang memang pernah menjadi kebiasaan dalam masyarakat mereka namun ada pula yang tidak pernah melakukannya. Disamping itu pula, dikatakan tradisi yang mulai hilang atau ditinggalkan bukan berarti kebiasaan tersebut sepenuhnya hilang. Didaerah tertentu mungkin sudah ditinggalkan namun tidak menutup kemungkinan didaerah lainnya masih melakukan beberapa kebiasaan tersebut. Hanya saja karena intensitas pelaksanaannya kini mulai kurang terlihat lagi bahkan tidak sama sekali, membuat beberapa kebiasaan-kebiasaan itu digolongkan dalam “tradisi suku Paser yang mulai hilang”.
Beberapa kebiasaan orang Paser yang kini mulai ditinggalkan tersebut dapat kita lihat pada penjelasan dibawah ini;


1. Ketika Hujan Panas Melanda.
Pada zaman dahulu ada sebuah kebiasaan yang dilakukan ketika seseorang sedang dalam perjalanan, dan ketika itu juga tiba-tiba hujan turun dan disertai terik panas matahari yang masih menyengat. Kebiasaan tersebut adalah menyelipkan sebuah daun yang masih hidup diselah daun telinga bagian atas. Daun yang digunakan pun tidak menuntut pada jenis tanaman tertentu. Dengan kata lain, daun yang digunakan bebas terserah apa yang kita inginkan. Yang terpenting daun hidup yang digunakan adalah utuh satu daun, bukan sobekan. Dengan demikian daun yang digunakan adalah daun yang berukuran kecil saja, yang masih muat dengan daun telinga bagian atas tadi. Kebayang kan jika harus menggunakan daun pisang yang lebar atau menggunakan daun “Jupe” yang bisa menyebabkan rasa perih dan gatal, tentu hal tersebut bisa menyulitkan merugikan penggunanya. Jadi, kita hanya perlu memilih jenis daun yang tepat dan aman untuk digunakan. 
 Menyelipkan daun diatas daun telinga

            Menyelipkan daun hidup pada daun telinga ini memang memerlukan tafsir mendalam lagi mengenai apa tujuan dan manfaatnya, namun ada kepercayaan bahwa jika melakukan hal itu ketika berjalan dihutan dan dalam keadaan hujan panas, maka kita tidak akan terlihat sebagai ancaman bagi para mahluk-mahluk kasat mata yang ada dalam hutan tersebut. Kondisi hujan panas pun sebenarnya punya mitos-mitos tersendiri pada semua suku bangsa yang di Indonesia. Dan hal tersebut juga ada dalam masyarakat suku Paser. Misalnya, adanya yang mengatakan pertanda ada yang meninggal dunia, atau hal-hal yang lebih menyeramkan lainnya. Bagi sebagian orang hal itu tentu hanya sebuah lelucon yang menggelitik dan tak jarang menjadi bahan ejekkan. Namun dibalik itu semua mitos-mitos itu juga memiliki sebuah pembelajaran, pembelajaran bagaimana orang tua terdahulu sudah mengetahui hal-hal buruk yang bisa terjadi saat keadaan hujan panas tersebut. Hal-hal buruk itu tentunya tak ingin sampai terjadi pada anak-anak mereka. Sehingga terciptalah mitos-mitos yang bertujuan agar anak-anak tak main diluar rumah ketika hujan panas. Mengapa harus menggunakan mitos-mitos yang seakan menakut-nakuti ?. Jawabannya kemungkinan tak jauh beda dengan pertanyaan mengapa kita menggunakan penyemprot pembasmi nyamuk ketimbang menepuk memukul nyamuk satu-persatu. Simpel namun paling efektif walaupun terkesan kurang aman namun apalagi yang harus diperbuat jika berhadapan dengan sifat anak yang kurang peduli dengan hal-hal yang bisa berakibat buruk untuknya.
            Kembali pada menyelipkan daun hidup di daun telinga. Kebiasaan ini memang sudah sangat jarang ditemui. Terakhir kali saya melihat kebiasaan ini adalah sekitar tahun 1996/1997. Saat itu anak-anak Sekolah Dasar ramai-ramai melakukan hal tersebut ketika dalam perjalanan pulang dari sekolah, kebetulan saat itu sedang hujan panas. Ternyata anak-anak seperti mereka saat itu masih mengindahkan pesan-pesan dari orang tua mereka.

2. Pertanda Pemilik Rumah Sedang Tidak Ada Dirumah.
Pertanda bahwa pemilik rumah sedang berpergian memang yang umum kita jumpai adalah pintu rumah tertutup rapat dan keadaan rumah yang sepi karena si pemilik rumah memang sedang pergi. Namun bagi orang Paser ada salah satu kebiasaan yang dilakukan ketika pergi meninggalkan rumah untuk waktu yang lama. Kebiasaan itu adalah menjauhkan ujung tangga yang menempel pada lantai rumah. Bentuk tangga rumah orang Paser pada zaman dahulu memang sangat sederhana, hanya berbentuk kayu bulat yang ditatah membentuk anak tangga. Tangga ini pun tak pernah direkatkan secara permanen pada lantai rumah. Hal tersebut bertujuan agar lebih mudah untuk melepaskan tangga ketika hendak meninggal rumah untuk waktu yang cukup lama. 
 Dua orang yang sedang datang berkunjung namun pemilik rumah sedang tidak ada ditempat

            Tujuan dari kebiasaan ini sebenarnya agar rumah lebih aman dari gangguan seekor anjing. Biasanya banyak anjing yang naik kerumah karena adanya tangga itu, dan ketika tangga dilepaskan maka tak ada lagi akses bagi para penjarah itu masuk kerumah. Pada perkembangannya, kemudian tangga-tangga kayu bulat ini digantikan oleh jenis tangga seperti saat ini. Menggunakan dua buah kayu panjang dan kayu-kayu pendek sebagai anak tangganya. Walaupun bentuk tangga yang berubah, namun kebiasaan itu tetap saja dijalankan. Biasanya akan dikaitkan sebuah tali pada ujung tangga bagian atas yang terhubung dengan lantai rumah. Walaupun tujuan dari kebiasaan ini adalah untuk mencegah anjing masuk kerumah, namun disamping itu telah mengindikasi bahwa pemilik rumah sedang berpergian dan tak sedang berada dirumah.
            Pada perkembangan zaman saat ini, rumah-rumah orang Paser banyak yang berubah tidak berbentuk panggung lagi. Pengaruh desain-desain modern dan bentuk rumah perkotaan menjadi inspirasi pembanguan rumah-rumah saat ini. Bahan bangunan berupa beton nan kokoh menjadi pilihan, sehingga tak mungkin lagi ada binatang penyusup yang bisa masuk terkecuali melalui pintu dan jendela yang terbuka. Pemilihan bahan baku semen dan batu itu juga mendukung beberapa alasan, seperti ketersediaan bahan baku kayu yang mulai sulit didapat, jika pun ada harganya pun hampir sama seperti menggaunakan bahan beton. Alasan lainnya tentu karena ingin mengikuti arus yang sedang trending topic. Memang sangat disayangkan, banyak ciri khas tradisi yang dahulu melekat pada orang Paser kini hilang. Kini tak ada lagi pembeda yang bisa mengindikasi bahwa itu rumah orang Paser. Semuanya terlihat sama dan karena hal itu tak jarang orang yang baru datang mengira bahwa bukan rumah orang Paser.
Bahan pembangunan memang boleh berubah, tradisi tangga (tukar) portable pun boleh hilang. Namun bentuk ciri khas yang mengidentifikasikan ke”Paser”an itu sampai hilang, itulah yang sangat disayangkan.  

3. Pemberitahuan Kepada Pemilik Rumah Bahwa Seseorang Telah Mengunjungi Rumahnya.
Saat mengunjungi rumah kerabat dekat yang berada jauh di kampong lain terkadang kita memang menemui sesuatu hal yang tak kita inginkan. Terkadang pemilik rumah tak ada ditempat dan kita juga tak mengetahui sedang pergi kemana si pemilik rumah tersebut. Ingin bertanya juga merupakan suatu hal yang sangat sulit dilaksanakan, rumah zaman dahulu memang tidak serapat zaman sekarang yang memiliki banyak tetangga disamping kanan dan kiri. Dalam keadaan seperti itu tak ada pilihan lain selain menunggu sejenak. Namun jika menunggu juga bukan pilihan yang utama,  tak ada pilihan lain selain pergi meninggalkan rumah tak berpenghuni itu. Selain hanya sekedar mengunjungi terkadang kita juga bermaksud ingin meminta sesuatu semisal sayuran buah-buahan atau yang lainnya yang ada disekitar rumah yang sedang kita kunjungi tersebut.
Sebelum pergi meninggalkan rumah tersebut ada sebuah kebiasaan unik yang dahulu sering dilakukan. Kebiasaan itu adalah meninggalkan beberapa daun hidup lengkap dengan tangkai-tangkainya. Biasanya dedaunan yang masih hidup segar itu diletakkan disekitar pintu rumah. Jika kebiasaan itu telah dilaksanakan, maka kita boleh pergi dari rumah itu untuk melanjutkan perjalanan kita selanjutnya.
 Dedaunan yang diletakkan gangang pintu sebagai pertanda ada seseorang yang pernah datang berkunjung

            Dahulu kala banyak orang Paser memang belum mengetahui baca tulis, apalagi alat komunikasi semisal handphone seperti saat ini. Satu-satunya cara untuk memberitahukan si pemilik rumah bahwa kita pernah datang berkunjung adalah dengan media dari alam. Media itu adalah dedaunan yang masih segar lengkap dengan tangkainya. Mengapa harus yang masih hidup dan segar ?, hal tersebut agar memberitahukan berapa lama waktu yang telah terlewatkan saat kita berkunjung. Semakin kering bentuk dedaunan itu maka tamu sudah sangat lama pernah datang. Penggunaan dedaunan itu juga jangan terlalu berlebihan. Hal itu takut hanya membuat rumah orang yang kita kunjungi itu menjadi tampak kotor. Kita hanya membutuhkan sedikit dedunan segar berserta tangkainya.
            Kebiasaan ini saat ini sudah tentu sudah hilang. Alasan yang paling mendasari hilangnya kebiasaan itu adalah kini masyarakat sudah bisa baca tulis dan tentunya masyarakat sudah mampu untuk memiliki alat-alat komunikasi sepert saat ini.

4.  Tradisi menuba ikan ( Nuwoq esa )
Tradisi menuba ikan memang jamak dilakukan beberapa suku yang ada di pulau Kalimantan. Kebiasaan menuba ikan ini adalah salah satu cara memperoleh ikan menggunakan zat yang berasal dari akar tanaman tuwoq. Akar dari tanaman tuwoq itu dipukul-pukul hingga mengeluarkan zat yang dilarutkan pada aliran sungai. Zat yang dikeluarkan dari akar itu membuat ikan-ikan mabuk dan muncul kepermukaan. Dengan demikian, ikan-ikan menjadi mudah untuk ditangkap dan diambil.
            Pada zaman dahulu kala, di daerah Paser ada sebuah tradisi menuba beramai-ramai. Setiap kampong-kampung akan diundang untuk melaksanakan tradisi yang dilakukan sangat jarang sekali itu. setiap kampong di Paser pasti memiliki aliran sungai kecil maupun besar, hal tersebut karena setiap nama kampong di Paser selalu dinamakan sesuai dengan nama sungai yang terdapat di kampong tersebut. Berbeda dengan yang ada saat ini, ada banyak nama kampong/desa baru yang dinamakan bermacam-macam pula. Beberapa kampong/desa tersebut tentunya baru-baru saja terbentuk saat ini atau semenjak program transmigrasi ada.
Setiap ada tradisi menuba ramai-ramai tersebut, kampong yang sedang melaksanakan kegiatan biasanya mengundang kampong-kampung tetangganya yang lebih dekat. Misalnya tahun ini kampong Lembok dan Perigi yang menyelenggarakannya di sungai lembok, maka kampong yang diundang adalah Suayo, Semuntai, Sendeley, Pait dan sebagainya.
 Nuwoq Esa

            Tradisi ini saat ini sudah hilang dan tak ada lagi jejaknya. Masyarakat biasanya jika menuba hanya bersifat personal saja, dan itu pun dalam skala yang sangat kecil sekali. Ketersediaan ikan disungai tak melimpah seperti dulu. Walaupun ada tradisi demikian rupa, tetap saja ikan-ikan dimasa itu masih melimpah. Hal tersebut juga karena tradisi tersebut tidak dilakukan secara rutin. Alam benar-benar masih menjadi sabahat terbaik manusia saat itu. jika kau ingin makan lauk ikan, cukup sekali saja melempar jala, maka berbagai jenis ikan sudah bisa menjadi lauk tiga kali makan dalam sehari.
            Tradisi ini juga kemungkinan tidak tersebar merata diseluruh wilayah Paser. Kemungkinan besar tradisi ini dahulunya hanya pada kampong-kampong yang memiliki sungai yang memiliki sumber daya yang melimpah saja. 

5. Rumah Kulit Kayu (Louq Upak).
Sejak zaman dahulu, orang Paser mempunyai ciri khas pada bangunan rumahnya. Salah satu ciri khas bangunannya adalah atap dan dinding yang berbahan kulit kayu. Namun ada pula yang mengkombinasikan antara atap daun nipaq dengan dinding kulit kayu,  hal tersebut tenggantung dengan persediaan bahan yang ada di lingkungan seseorang itu berada.
 Salah satu bentuk rumah dengan bahan kulit kayu di Desa Modang, Kecamatan Kuaro via flickr Desa Modang

            Pada masanya, rumah yang menggunakan dinding kulit kayu memiliki pamor yang tinggi saat itu. istilah saat ini rumah penduduk yang menggunakan dinding kulit kayu itu adalah rumah orang yang mewah. Dikatakan mewah karena dinding dari kulit kayu memiliki beberapa kelebihan daripada bahan lainnya. Beberapa kelebihan itu seperti, dinding kulit kayu menciptakan rasa nyaman dan sejuk ketika berada didalamnya, dinding kulit kayu juga mempunyai kekuatan yang cukup bagus sehingga umur penggunaannya lumayan cukup lama. Disamping itu pula, untuk mendapatkan bahan kulit kayu yang siap digunakan untuk dinding juga tidak sembarangan. Bahan kulit kayu bisa didapatkan dari beberapa jenis kayu saja dan sudah mencapai ukuran diameter lingkaran batang yang sudah ditentukan. Pada sebagian orang Paser ada juga sebuah keyakinan saat yang paling tepat untuk mengelupaskan kulit kayu untuk bahan dinding tersebut. Pengelupasan kulit kayu itu paling tepat dilakukan saat masa bulan purnama tiba. Pengerjaannya tetap dilakukan pada siang hari, namun dengan beberapa keahlian *khusus yang dimiliki orang Paser dengan didukung oleh keyakinan tadi, maka pengelupasan itu akan menjadi mudah dan tampak lebih sempurna.
            Tradisi menggunakan kulit kayu sebagai bahan dinding rumah ini saat ini memang mulai langka. Kini rumah-rumah seperti itu hanya dapat dijumpai di kebun-kebun masyarakat Paser atau diperkampungan yang masih mempertahankan rumah-rumah seperti itu. Alasan yang paling kuat mendorong terjadinya hal itu tentu karena perkembangan zaman yang meliputi manusianya yang memiliki andil besar dalam melakukan sebuah tindakan serta ketersediaan bahan baku di alam yang mulai sulit ditemukan.
            Begitu banyak kisah canda, tawa, duka, yang tercipta dari balik dinding-dinding kulit kayu itu. Besempuri, bereko, hingga betore tentunya pernah mengalun-alun dari balik dinding yang eksotik itu. Semuanya tentu kini menjadi kenangan yang sangat manis untuk dingat dan diceritakan kembali. Walaupun sebagian mengatakan saat-saat itu adalah masa yang sangat sulit jika dibandingakn dengan kehidupan saat ini, namun hidup saat itu yang selalu berdampingan dengan alam membuat sesuatu hal tersebut tak sulit dan merasa kekurangan. Mereka memperlakukan alam dengan bijak dan alam pun akhirnya memberikan upah yang memang seharusnya mereka terima.
            Tradisi yang selalu menjadi bagian dari sebuah cerita ketika kita berbicara tentang Paser tentunya sangat disayangkan jika harus lenyap begitu saja. Ada orang yang paham hanya dari membaca dan mendengar, namun ada pula yang baru paham ketika sudah melihat langsung. Dengan demikian, sebenarnya melestarikan bentuk rumah “upak kayu” ini merupakan suatu hal yang sangat seksi untuk dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Membangun sebuah daerah tentunya tak harus mengorbankan tradisi-tradisi yang ada dalam masyarakat aslinya. Memang ada pendapat untuk mejadikan sesuatu itu butuh pengorban, namun pengorbanan itu janganlah sampai seperti kita hendak membeli pulsa dengan menjual ponselnya.
Melestarikan itu bisa dilakukan seperti membuat landmark bertemakan “louq upak” ini. Kita ketahui bersama bahwa masyarakat saat ini sangat haus akan tempat-tempat rekreasi maupun hanya sekedar santai-santai menanti senja belalu berganti malam. Mengapa tempat-tempat tersebut tidak menampilkan beberapa unsur sejarah yang berkaitan dengan tradisi setempat.  Rekreasi itu tidak hanya menyegarkan kembali pikiran namun sambil memenuhi keinginan tersebut kita juga bisa mendapat hal-hal yang informatif sebagai pengetahuan kita. Dengan demikian selain menambah nilai ciri khas suatu daerah, melestarikan “louq upak” ini bisa menjadi media pembelajaran tentang tradisi setempat bagi anak-anak, remaja, orang tua dan lain sebagainya.

6. Sistem Barter (Setumpu).
Sistem barter memang pernah menjadi tradisi berbagai suku yang ada di Indonesia. Sistem barter adalah proses transaksi perdangangan dengan saling bertukar barang. Sistem ini pernah dilakukan ketika nilai uang belum dijadikan sebagai alat pembayaran dalam transaksi jual-beli.
            Suku Paser mengenal kebiasaan setumpu ini sejak adanya interkasi perdangangan dengan berbagai suku lain dari luar daerah. Pada zaman dahulu orang Paser banyak membawa hasil kebunnya untuk ditukarkan dengan garam, belacan atau barang yang lainnya yang dibawa oleh mereka-mereka yang kebetulan datang ke pasar-pasar di wilayah Paser. Pada awalnya transaksi-transaksi itu lebih banyak dilakukan di pasar-pasar apung. Pasar apung sendiri terbentuk karena pada zaman itu hanya ada perahu sebagai alat transportasi yang dimiliki penduduk. Penampakan alam Kalimantan yang memiliki banyak sungai inilah yang mendorong kegiatan perdangangan banyak dilakukan disungai-sungai. Perkampungan-perkampungan penduduk juga lebih banyak terdapat di sekitar aliran-aliran sungai di Paser.
 ilustrasi Barter zaman dulu via simburnaikupdate.wordpress.com

            Pada saat transaksi jual-beli sudah mengenal uang sebagai alat pembayaran, dibeberapa pasar tradisional di wilayah Paser juga masih ada yang setia dangan kebiasaan sistem barter ini. Pada tahun 1998-1999 di pasar tradisional Long ikis misalnya, saya masih menjumpai transaksi barter ini yang dilakukan ine’ saya sendiri saat itu. Kebetulan ine’ saya saat itu masih sering berjualan ke pasar-pasar untuk menjual hasil kebun sendiri. Barang yang dibarter saat itu adalah buah pinang yang kemudian ditukar dengan tambi *(sejenis kerang/tudai). Terkadang penukaran buah pinang itu juga dengan ronto *(permentasi udang rebon) atau jenis hasil laut lainnya. Transaksi barter saat itu memang hanya dilakukan pada pedagang-pedagang suku Bajau. Dari suku Bajau sangat membutuhkan buah pinang untuk menyompa (menginang), sedangkan buah pinang banyak sekali terdapat di samping-samping rumah orang Paser. Dengan demikian buah-buah pinang itu pun di tukar dengan barang-barang yang dijual oleh orang Bajau tadi. Orang Bajau bisa menginang, orang Paser dapat lauk pauk tanpa mengeluarkan sepeser rupiah.
            Kebiasaan barter atau setumpu dalam bahasa Paser ini saat ini memang sudah banyak tidak dilakukan. Masyarakat kini sudah menggunakan uang sebagai alat tukar dalam transaksi jual-beli. Dan jika itu masih ada, kemungkinan hanya dalam skala kecil saja, tidak seperti pada masa-masanya dahulu kala. 

7. Gerhana Bulan atau Matahari.
Peristiwa gerhana bulan maupun matahari memang pernah memunculkan berbagai mitos di masyarakat terdahulu. Seperti kisah Columbus saat berlabuh di Jamaica dan bertemu dengan penduduk asli setempat atau kisah-kisah yang lainnya, peristiwa gerhana ini memang memunculkan berbagai pemahaman di kalangan masyarakat terdahulu.
Gerhana matahari via catatankoemars.com
            Pada masyarakat suku Paser gerhana disebut dengan "Kelom". Dahulu kala ada sebuah kebiasaan yang selalu dilakukan saat peristiwa kelom/gerhana bulan maupun gerhana matahari sedang terjadi. Pada saat bulan atau matahari terlihat lenyap dari bumi dan cahayanya pun tentu terlihat memudar, orang-orang akan sibuk seperti membukakan semua tempat atau wadah yang memiliki penutup. Wadah-wadah itu bisa seperti tempayan air, tempat menyimpan beras, panci, cerek, dan lain sebagainya. Dari kebiasaan itu tentunya ada sebab-musababnya. Kisah lisan tentu menyebabkan sebuah kepercayaan bahwa bulan atau matahari itu lenyap oleh sesuatu hal. Seperti bulan atau matahari yang dimakan, bulan atau matahari yang disimpan oleh mahluk tertentu dan lain sebagainya.
            Kebiasaan itu kini tidak lagi dilakukan. Masyarakat sudah mengalami perkembangan pada pola pikir mereka. Tentunya ilmu pengetahuan yang diserap dapat menjelaskan mengapa kebiasaan itu tidak lagi dilakukan.

8. Membuat Sagu (Nampaq Sagu)
Daerah dataran rendah di wilayah Paser sejak dulu kala memang sudah banyak ditumbuhi tanaman rumbia. Sebagaian besar penduduknya memanfaatkan tanaman rumbia itu untuk diambil sari patinya menjadi sagu.
 Membelah batang rumbia atau sagu via berandainovasi.com

            Dibeberapa perkampungan suku Paser dahulu kala ada sebuah tradisi yang menyangkut pohon rumbia ini. Tradisi itu adalah membuat sagu beramai-ramai. Tradisi yang menyertakan banyak orang itu biasaanya dilakukan ditepi sungai. Persediaan air yang melimpah tentunya alasan mengapa kegiatan itu dilakukan di tepi sungai. Setiap ada kegiatan seperti itu biasanya orang sekampung akan diundang untuk ikut berpartisipasi. Mulai dari orang tua, remaja laki-laki amaupun remaja wanita, anak-anak akan tumpah ruah ikut membantu atau hanya sekedar melihat langsung kegiatan itu. setiap orang yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan itu pasti akan mendapat bagian masing-masing dari upah keikutsertaan ia bekerja tentunya. Upah yang didapat tak lain adalah sagu yang sudah jadi dan siap untuk diolah lebih lanjut dirumah masing-masing.
            Saat ini tradisi itu sudah tak lagi dilakukan. Untuk didaerah yang berbeda mungkin masih ada yang melakukan kegiatan mengolah sari pati rumbia menjadi sagu, namun sifatnya sudah personal dan terkadang untuk kebutuhan jual-beli. Dengan adanya penjual sagu yang ada dipasaran saat ini tentunya membuat kegiatan itu semakin enggan dilakukan. Masyarakat kini jika ingin mengkonsumsi sagu hanya perlu membelinya secara praktis tanpa ikut merasakan proses pembuatannya lagi sepeti saat dulu kala.

………………………………………………..****……………………………………………….
Itulah beberapa kebiasaan yang dulu pernah dilakukan oleh orang-orang Paser. Beberapa kebiasaan ini tentunya ada perbedaan diantara daerah satu dengan daerah lainnya. Bahkan beberapa kebiasaan itu tidak semua ada disetiap daerah di wilayah persebaran suku Paser. Dengan demikian bisa menjelaskan bahwa pasti akan ada daerah yang memang tak memiliki kebiasaan-kebiasaan itu dan disisi lain akan ada juga yang juga pernah memilikinya. Dan tidak menutup kemungkinan juga masih ada yang meyakini dan melaksanakan hal-hal tersebut.


*Semoga artikel ini dapat menambah wawasan Anda. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste / menyebar-luaskan artikel ini, namun Anda harus menyertakan link hidup dari artikel ini sebagai sumbernya. Mohon kerjasamanya dalam sedikit menghargai hasil karya dari Penulis.
Tabe.................................................................................

2 comments:

  1. Sangat menarik mengenal adat istiadat daerah sendiri. Artikel yg bagus sekali !

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih atas apresiasinya dan telah berkesempatan membaca... ^_^

      Delete