Monday, September 21, 2015

Sungai Lembok Riwayat Mu Kini


Sungai sejak dahulu kala merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat sekitarnya. Denyut kehidupan selalu nampak disetiap aliran sungai yang bisa menyuplai atau menyediakan kebutuhan air, makanan, penghasilan penduduk  hingga jalur transportasi ini. Tak terkecuali dengan sungai Lembok, sungai yang berada di antara Dusun Perigi dan Desa Lembok ini masih dalam kawasan kecamatan Long ikis Kabupaten Paser. Sebagai aliran sungai yang cukup besar *(namun belum termasuk DAS besar seperti Telake dan Kendilo) sungai Lembok ini punya banyak kisah dan sejarah sendiri sejak zaman dahulu kala. Kisah-kisah tersebut tentunya masih mengalir dari generasi ke generasi pada masyarakat yang bermukim di dua kampung tersebut, mengalir seperti aliran air sungai Lembok itu sendiri. 

        Para orang tua kadang bercerita tentang sungai Lembok itu pada masa yang sangat lampau. Entah jika dalam pelajaran sejarah hal tersebut pada zaman apa. Cerita-cerita itu hanya terus bersambung dari generasi ke generasi. Sungai Lembok saat itu benar-benar menyediakan kemakmuran pada penduduk sekitar. Aliran sungai itu tak hanya menyediakan air bersih dan lauk-pauk saja namun juga batu-batuan “Bulau” yang sangat mudah untuk ditemui. Bulau adalah sebutan “emas” dalam bahasa suku Paser. Untuk menggambarkan betapa melimpahnya emas saat itu di sungai Lembok itu, digambarkan bahwa isi renggap atau mata anai-anai untuk memotong tangkai padi saat memamen itu pun dibuat dari emas.  Namun sesuatu yang berlebihan itu memang tak akan berakhir baik. Begitu pula dengan masa kejayaan tersebut.  Semua kilauan bulau tersebut dihilangkan dari aliran sungai Lembok itu dan sampai kapanpun tak akan mudah didapatkan oleh masyarakat lagi. Sumpah telah terucap dan tak bisa melunturkan sumpah tersebut. 
        Peradaban di sekitar aliran sungai Lembok sudah tercipta sejak dahulu kala.  Penduduk pribumi suku Paser sudah menetap dan membuat pemukiman diantara aliran sungai ini. Dan entah bagaimana kisahnya kini aliran sungai ini jadi pembatas dua Desa yakni antara Desa Lembok dan Dusun Perigi yang masuk Desa Semuntai. Namun sistem kekerabatan penduduk asli Dusun Perigi dengan Desa Lembok hingga kini tetap tak ada pembatasannya.
Walaupun pemukiman penduduk berdekatan dengan aliran sungai Lembok namun penduduk saat itu benar-benar memperlakukan sungai sebagai anugerah yang perlu dijaga. Masih sangat segar dalam ingatanku ketika masih anak-anak yang sering diajak mengunjungi rumah Dato*(Kakek) di Desa Lembok. Rumah panggung dengan tiang-tiang rumah yang menjulang itu tidaklah berada tepat dipinggir sungai melainkan ada jarak yang lumayan jauh dari bibir sungai. Sungai itu ibarat jalan raya saat ini, jadi tak ada bagian belakang rumah yang menghadap sungai. Sehingga tak ada comberan atau pembuangan limbah lainnya yang mengarah langsung ke sungai. Untuk sampai ke rumah Dato memang harus menyeberangi sungai terlebih dahulu. Sungai bisa disebrangi dengan berjalan kaki ketika tidak dalam keadaan banjir besar atau pasang, namun jika air pasang biasanya akan memilih menyeberangnya agak kehulu lagi karena ada batas berhenti pasang yang memang tidak terlalu jauh.
Pinggiran sungai saat itu masih sangat asri dengan banyak pepohonan besar khas tanaman pinggir sungai seperti pohon temar dan lain sebagainya. Selain itu ada juga pohon pisang dan kopi yang menyelimuti jalan setapak tepi sungai menuju rumah Dato. Sedikit kearah hulu ada beberapa pohon Lomu besar yang biasa tempat hinggap lebah madu membuat sarang. Pohon ini juga kadang berbuah dan beruntungnya Aku juga pernah merasakan mencari langsung dan menikmati buah Lomu tersebut. Diantara sigapnya pohon Lomu itu juga terselip pohon “ensom buyung” atau asam hitam yang pohonnya tak kalah besar juga. Tepi-tepi sungai saat itu memang sangat asri dengan berbagai jenis pepohonan yang menakjubkan. 
 Pohon Lomu yang ada di pinggir sungai Lembok yang masih tersisa

Ada pula sedikit kenangan indah yang diceritakan ine’/ibuku saat masih tinggal di rumah Dato. Beliau bercerita tentang mudahnya mendapatkan lauk-pauk dari sungai Lembok saat itu. Hanya dengan memasang bubu yang tak lupa diberi umpan kelapa didalamnya, begitu banyak ikan yang bisa tertangkap dalam bubu tersebut. Satu bubu saja sudah cukup puas untuk menikmati makan dengan lauk ikan sungai air tawar.
        Dari kediaman Dato di Desa Lembok kini kita berpindah cerita menuju Dusun Perigi. Pada pemukiman penduduk di Dusun Perigi aliran sungai Lembok ini hampir keseluruhannya mengalami pasang surut. Hal tersebut membuat berbagi jenis penghuni sungai itu lebih beragam lagi. Saat air pasang maka jenis-jenis ikan yang biasa hidup di air asin akan mudah ditemui, namun jika air surut air akan menjadi tawar kembali. 
Dato (orang tua dari uma’/bapak) juga pernah bermukim memiliki rumah yang tak jauh dari bibir sungai Lembok yang berada di Dusun Perigi. Jarak antara rumah dengan tepi sungai itu sekitar kurang lebih 50 meter. Jarak antara rumah dengan tepi sungai banyak ditumbuhi beranekaragam pepohonan buah-buahan seperti, durian, langsat, munte(jeruk), dan masih banyak yang lainnya. Pada masa itu orang tuaku menjelaskan bahwa mudahnya memperoleh lauk-pauk dari sungai. Ketika sampai dirumah dan tak ada lauk-pauk yang tersedia, maka cukup sekali saja menebar jala ikan, jala itu akan dipenuhi berbagai jenis ikan dan udang. Jika ingin mendapatkan ikan yang ukurannya lebih besar, terkadang dipasang rawai( sejenis pancingan yang memiliki mata kail yang banyak yang dipasang sejajar) di aliran sungai yang agak dalam dan biasa menjadi tempat ikan besar melintas dan mencari makan. Rawai biasanya dibiarkan semalaman dan dicek pada pagi hari. Ada ikan jenis kakap dan sembelang yang biasa didapat pada kail-kail rawai tersebut. Berbagai jenis hasil rawai biasanya akan berlebihan jika hanya untuk sekedar lauk-pauk, terkadang sebagian dijual untuk menghasilkan beberapa lembar uang saat itu.
        Zaman pun terus berubah, masyarakat sekitar saat itu benar-benar masih merasakan anugerah sungai itu. Jika menginginkan udang gala bisa memancingnya, terkadang udang gala yang besar-besar itu juga bisa didapat dengan memasang bubu. Ingin ikan bisa menjala, rengge, pasang rawai dan memancing menggunakan ambur atau bisa juga dengan cara menyelam menembak ikan dengan sundak. Ingin kepiting bisa didapat dengan cara  mintan atau dengan rakang. Dan jika ingin udang rebon yang kecil-kecil itu bisa didapat dengan cara nyodo di arus-arus aliran air diantara bebatuan pasir baras ketika air mulai mengecil atau surut. Udang-udang kecil itu oleh masyarakat sekitar biasa dipermentasi menjadi “Ronto” atau ada juga yang dikeringkan bahkan diolah langsung.  Hmmmm….. ronto. Makanan dengan aroma khas ini memang favorit beberapa kalangan sejak dulu. Apalagi jika diolah dengan campuran bawang gunung dan dinikmati dengan nasi hangat yang dikepal-kepal. Namun ada juga sebagian orang yang tidak menyukainya karena dari aroma khasnya tersebut. Dan bagi yang memiliki alergi udang, sudah tentu harus berfikir dulu sebelum menikmatinya. Daripada setelah selesai memakannya kemudian muncul jurus cakar harimau, hehehe… cakar harimau untuk menggaruk-garuk.
        Sekitar tahun 1960-an sungai Lembok juga pernah menjadi tempat pasar apung.  Pasar apung tersebut pernah membuat Dusun Perigi sangat dikenal luas dimata para pedagang yang berasal dari luar daerah saat itu. Pedagang dari luar tersebut masih banyak didominasi oleh orang-orang Bajau yang berasal dari daerah pesisir hingga ke Muara Adang. Mereka banyak membawa hasil laut mulai dari yang masih segar maupun yang sudah berupa olahan, dari berbagai jenis ikan hingga kerang-kerangan seperti tambi(Tudai) dan lain sebagainya yang kemudian ditukarkan dengan hasil kebun atau ladang milik warga sekitar. 


Daerah Loyu Batu 
   

    Jembatan Pipa milik Pertamina menjadi tempat penyebrangan

Kedaaan hutan yang asri dipinggiran sungai Lembok tempo dulu juga menciptakan keharmonisan dengan beberapa satwa di kawasan tersebut. Pohon-pohon buah yang tumbuh memayungi aliran sungai itu memang menjadi daya tarik bagi binatang apa saja yang hendak mencari makan ke tempat tersebut.  Saat itu setiap pagi kita bisa mendengarkan suara kelawot (uwa-uwa) yang mendayu-dayu membuka mengawali pagi. Ada sebuah kedamaian ketenangan batin yang dapat dirasakan saat masih bisa mendengarkan suara satwa-satwa seperti itu dilingkungan rumah kita sendiri. Bukan suara dari balik kekangan sebuah kandang namun suara yang memang berasal dari alam yang sesungguhnya.
        Sungai Lembok memang sering mengalami banjir. Hal tersebut biasa terjadi saat musim penghujan tiba. Beberapa kesempatan juga pernah terjadi banjir yang besar hingga meluap dari aliran sungai. Daerah dataran rendah yang dulu digunakan sebagai area persawahan pun menjadi terendam oleh air yang berwarna keruh itu. Keruh, ya itulah yang menjadi pertanda jika sungai Lembok sedang banjir saat itu. walaupun debit airnya masih setengah dari badan sungai jika warnanya sudah keruh, maka warga sekitar pasti mengatakannya banjir. Orang Paser menyebutnya “owa tenga tengkiwang” yang artinya banjirnya masih setengah dari badan sungai. Apalagi jika airnya sudah meluap keluar dari aliran sungai, hal itulah yang dikatakan “owa olai” atau banjir besar.
Banjir besar biasanya bisa terjadi karena beberapa hal yakni, pertama terjadi karena di hulu sungai terjadi hujan yang sangat deras dalam waktu yang lama. Hulu dari sungai Lembok memang memiliki cabang yang banyak, sehingga akan menyuplai debit air yang sangat besar menuju hilirnya. Namun banjir akan lebih cepat lagi meluap jika disaat bersamaan dari hilir sedang ada air pasang yang sedang naik. Walaupun debit air yang dikirim dari hulu tidak terlalu besar, tetap saja akan menciptakan banjir besar juga. Dan apabila debit air sangat besar dari hulu kemudian dikomposisikan dengan air pasang dari hilir, waaahhh…. Area persawahan akan terlihat seperti sungai Kendilo yang warnanya selalu keruh itu. walaupun sungai itu kadang banjir besar amun tak pernah sampai membuat bencana besar bagi penduduk sekitar. Jika banjir besar dari pagi kadang tengah hari juga sudah tidak sampai meluap lagi. Bagi sungai Lembok banjir dengan air berwarna keruh itu bak ritual pembersih diri. Setelah banjir air akan kembali jernih dan bersih, akan ada ribuan kubik pasir dan koral baru yang terbawa dari hulu dan mengendap didasar sungai. Berbagai jenis organisme akan memulai kehidupan baru menikmati keadaan lingkungan yang baru tersebut.
Keadaan air sungai Lembok yang masih bersih merupakan berkah bagi masyarakat sekitar, tak terkecuali bagi anak-anak saat itu. Sungai Lembok merupakan salah satu arena bermain favorit bagi anak-anak. Disungai itu mereka bisa mandi dan bermain sepuas-puasnya tanpa membayar sepeser Rupiah pun. Terkadang hingga mata memerah dan jari-jari tangan mengkerut keriput. tak ayal hal tersebut terkadang membuat para orang tua berang saat anak mereka sudah tiba di rumah masing-masing. Hehehe… mau bagaimana lagi, sebagai anak-anak yang lahir dan dibesarkan dilingkungan kampung seperti itu, tak ada kegiatan lagi yang bisa membuat mereka senang kecuali bercengkrama dengan alam. Dan sebenarnya lingkungan alam juga membentuk mereka menjadi anak-anak yang tangguh, tangguh dalam berkawan dan terkadang sebagian juga tangguh dalam menerima amarah ceramah dari orang tua karena terlalu banyak bermain disungai hingga lupa waktu, hehehe…  selain itu juga anak-anak pandai berenang, kreatif dalam menciptakan berbagai permaian bersumber dari alam dan lain sebagainya. Dan menurutku, ketika anak-anak tersebut sangat menyukai bahkan mencintai alam tempat ia bermain, maka ia tak akan rela jika tempat bermainnya itu menjadi rusak sampai kapan pun.  
        Semakin tahun ketahun kini wajah sungai Lembok terus berubah. Sisi kanan dan kiri sudah mulai terbuka dan digantikan perkebunan kelapa sawit.  Bentuk alirannya pun terus berubah-ubah. Kuatnya terjangan arus air saat banjir besar serta mulai berkurangnya pohon-pohon penyangga pinggiran sungai membuat tepi-tepi sungai mengalami pengikisan tanah dalam waktu yang cepat. Hal tersebut juga berakibat tumbangnya beberapa pohon besar yang ada ditepi sungai. Akar kuat dengan tubuh kokoh menjulang pun akhirnya takluk dengan air yang terus menggerus pertahanan akarnya. Seperti yang terjadi pada pohon Lomu yang sangat besar yang berada tepat dipinggir sungai Lembok. Bertahun-tahun lamanya pohon itu menjadi maskot sebagai yang terbesar di kawasan itu. Pasak-pasak yang menancap erat ditubuhnya mengisyaratkan bahwa pohon itu telah menghasilkan banyak madu dari sarang lebah yang selalu hinggap di dahannya. Puncaknya yakni pada suatu pagi buta dimana masyarakat Dusun Perigi dikejutkan oleh suara dentuman keras yang dibarengi dengan getaran bumi yang lumayan dahsyat. Pohon Lomu itu tumbang dengan arah melintang diatas aliran air sungai Lembok itu. Setelah pohon itu tumbang, nampak jelas ada bentuk kehidupan lain yang juga ikut mati. Sarang burung elang yang hancur dan tak ada tanda-tanda selamat untuk anak-anaknya yang masih kecil saat itu. Sebelumnya burung elang memang sering bersarang dicabang-cabang dahan pohon tersebut.  Ribuan pasukan lebah madu pun akhirnya harus merelakan tempat yang biasa mereka singgahi untuk bersarang, selain itu juga kondisi hutan yang berubah menjadi perkebunan kelapa sawit juga membuat para lebah madu benar-benar pergi dari kawasan itu. Lunglai lambaian putus asa dari daun-daun anggrek yang terkoyak-koyak berserakan diantara dahan-dahan yang patah.
 Tunggul batang pohon aren yang ditebang. Menandakan sudah beralihnya mata pencarian dari menyadap nira aren ke perkebunan kelapa sawit.

        Kenangan-kenangan masa lalu tentang sungai Lembok sepertinya mulai tersamarkan oleh beberapa perubahan yang berlaku. Masyarakat sekitar pun mulai merasakan hal-hal yang kurang baik sedang berlaku pada sungai tersebut. Saat masuknya perusahaan tambang nikel yang berada di hulu sungai, terkadang warna air menjadi keruh pekat bahkan hampir memerah. Hal tersebut memang tidak terjadi setiap hari, ada waktu-waktu tertentu saja. Dan bersyukurnya perusahaan di hulu sungai itu tak berumur panjang dan kemudian tidak beroperasi lagi. 
 Air sungai Lembok terlihat sangat keruh yang tak biasa, padahal tidak ada terjadi hujan dengan intensitas besar.

        Perubahan tingkat ekonomi dan pola gaya hidup masyarakat suatu daerah tersebut juga mempengaruhi pola pikir dan gaya pandang beberapa orang pada sungai. Dahulu sungai dipandang sebagai sumber kehidupan dan patut dijaga keberadaannya kini mulai dipandang sebagai tong sampah raksasa bagi sebagian orang. Begitu banyak sampah-sampah mulai tebar pesona di aliran sungai itu, sehingga air pun menjadi sangat kotor dengan menjijikan. Hal tersebut pernah membuatku tidak jadi mandi disungai tersebut. Kebetulan saat itu musim kemarau dan belum ada air PDAM yang mengalir kerumah-rumah. Aku dan ine’ pergi mandi ke aliran sungai Lembok bagian hulu dari jembatan itu dengan tujuan agar mendapatkan air yang masih tawar karena belum terkena air pasang dari hilir. Setelah tiba ditempat tujuan aku hanya mengidik dan mengelengkan kepala, melihat sebuah rumah dengan bagian belakang rumahnya yang menghadap langsung tepat di tepi sungai. Terlihat jelas aliran limbah rumah tangga yang mengalir langsung menuju sungai yang tepat dibawahnya. Disamping itu juga terlihat menumpuk sampah-sampah kemasan yang berada di tepi sungai tepat dibelakang rumah tersebut.
Jiwa rasanya mengkerut dan menciut jatuh kedalam sebuah ruang yang gelap dan pengap. Bagaimana jika rumah seperti itu berdiri lebih banyak lagi ditepi-tepi sungai yang kucintai ini. Kecemasan itu muncul karena Aku tak ingin sungai ini kelak menjadi seperti sungai-sungai yang ada di kota-kota besar yang tak terurus dan seperti memang sengaja menjadi tempat pembuangan. Dan Aku yakin semua warga di sekitar sungai tersebut juga tak menginginkan hal tersebut terjadi.
Hal senada juga pernah diutarakan oleh seorang warga Dusun Perigi yang profesi kesehariannya adalah sebagai nelayan pencari ikan. Di bawah rimbunnya pohon temar di tepi sungai beliau menceritakan beberapa pengalamannya saat menyusuri sungai Lembok ini hingga olong atau muaranya. Menurutnya sungai ini memang sudah mulai kotor. Banyak sekali sampah-sampah yang dibuang kesungai ini dalam berbagai bentuk dan jenis. Mulai dari berbagai jenis sampah plastik, kotoran atau limbah pemotongan ayam pedaging hingga bangkai binatang seperti bangkai anjing, kucing. Seburuk ini kah perlakuan manusia zaman sekarang pada anjing dan kucing yang mati. Padahal pandangan yang selalu melekat pada  masyarakat sejak dulu adalah jika binatang seperti anjing dan kucing itu mati maka lebih baik jika dikuburkan bukan malah membuangnya kesungai. Setelah terbiasa membuang bangkai binatang kesungai, jangan-jangan selanjutnya juga bangkai manusia yang dibuang kesungai tersebut. Hal tersebut memang bisa saja terjadi karena prilaku sifat kemanusiaan seseorang itu sudah berubah atau hilang.  

 Beberapa sampah mulai tebar pesona dan terlihat diatas pasir dan pinggiran sungai ketika air surut.

        Lanjut beliau, pemasok sampah kesungai Lembok itu juga banyak berasal dari beberapa orang yang sengaja membuang sampah dari atas jembatan Lembok tersebut. Terkadang ada pedagang pasar yang sengaja membuang sampah sisa penjualannya di pasar dari atas jembatan itu. Dulu banyak orang membuang sampah di suatu tempat yang berada di jalan masuk Tajur melalui simpang empat Pait, namun sampah yang menumpuk itu kemudian diprotes warga sekitar hingga akhirnya ditutup. Selain ditempat itu dulu juga ada pembuangan sampah di jalan belakang masjid Al-hijrah Lembok berdekatan dengan Benteng, karena lahan yang dipakai adalah milik warga akhirnya diprotes juga oleh pemilik lahannya. Diduga karena belum adanya tempat pembuangan akhir yang menaungi wilayah kecamatan Long ikis ini membuat banyak yang membuang sampah disembarang tempat, seperti sungai dan lahan milik warga. 

 Jembatan Sei Lembok


Penampakan aliran sungai Lembok yang dilihat dari atas jembatan

        Bapak dua anak yang gemar bereko*(Bercanda) ini mengatakan bahwa sungai Lembok ini masih terselamatkan sedikit karena adanya banjir dan air pasang surut yang melarutkan semua sampah-sampah itu ke hilir. Namun jika terus menerus seperti itu bukan tidak mungkin lagi jika anak-anak sungai di hilir dipenuhi oleh sampah dan mencemari habitat perairan tersebut. Sebagai contoh saja kini saat mencari kerang “telagi” kita akan sangat terganggu oleh sampah-sampah yang mengambang dan mengendap di dasar sungai Lembok. Jika terus begini, kedepannya bisa-bisa kita juga merasa jijik mengkonsumsi telagi tersebut. -_-
 Kegiatan mencari kerang telagi, kegiatan ini biasanya dilakukan saat air sedang surut.


        Rona cahaya sang surya ternyata sudah mulai meredup diufuk barat. Kami pun mengakhiri perbincangan hari itu dan langsung pulang kerumah masing-masing. Walaupun kami berpisah pada jalan setapak yang berbeda menuju rumah masing-masing namun jika sungai ini memanggil, kami punya jalan yang berbeda-beda itu yang ujungnya sama-sama menyatu menuju sungai tersebut. 
        Zaman memang terus berubah begitu pula dengan semua yang ada disekitar kita. Lingkungan kita, pola pikir kita, perekonomian bahkan kepadatan penduduk. Namun perubahan itu jangan sampai ikut merubah sifat baik kita menjadi buruk. Jangan sampai zaman menggenggam kita namun kita lah yang harus menggenggam zaman itu. Jika kelak dusun Perigi dan dusun Maso(Lembok) ini terus berkembang dan memperluas daerah pemukimannya, semoga selalu menjaga dan memelihara sungai yang membelah dua kampung tersebut. Jangan pernah lupa bahwa cikal bakal awal terbentuknya perkampungan disekitar sungai tersebut adalah karena aliran sungai inilah yang pertama kali menemukan daerah itu sehingga dijadikan pemukiman.  Elok kah jika kita harus merusak wajahnya yang banyak berukirkan sejarah kisah masa lalu itu. Jangan sampai kita meminum dan menggunakan air bagian hulunya dan kemudian menjadikan hilirnya sebagai tampungan sampah kita. Hal itu sama saja seperti kita mengharapkan sebuah hasil dari satu pokok kelapa sawit tanpa kita merawat dan memupuknya. Sudah diketahui kan bagaimana hasilnya, begitu pula dengan sungai yang selalu kita harapkan kebaikannya bagi hidup kita namun kita tak pernah memberi kebaikan pula padanya, malah memberikan keburukan.
        Sampai saat ini sungai Lembok memang masih sangat banyak memberi manfaat kebaikan untuk warga sekitar. Kita masih bisa menerima pasokan air dari bendungan PDAM yang dapat dinikmati dirumah-rumah warga. Ketika air surut biasanya ada beberapa warga yang mencari telagi sekedar untuk lauk-pauk. Ada juga yang mengeruk pasir atau koral sungai yang kemudian dijual. Pada saat kemarau panjang tiba, akan ada banyak yang membawa jala untuk mencari udang yang sedang naik karena air asin sudah masuk ke daerah sungai. Pada saat-saat tertentu entah siang maupun malam, kadang ada yang memancing ikan dari tepi sungai. Bahkan dulu saat kemarau lumayan panjang ada fenomena saat ikan-ikan air asin sudah mulai masuk hingga daerah jembatan, banyak yang memanfaatkannya untuk memancing dari atas jembatan itu saat malam hari. Manfaat kebaikan sungai tersebut yang tak kalah pentingnya adalah hingga saat ini menjadi jalur transportasi warga yang hendak pergi kearah muara. Bukan hanya warga sekitar yang punya hobi melaut atau mencari ikan, udang, kepiting dan lain sebagainya itu, namun banyak pula orang-orang dari luar kampung sekitar sungai tersebut yang sengaja menambatkan perahu mesinnya di tepian-tepian milik warga sekitar. 



 Bendungan Sungai Lembok yang berada di Desa Lembok Kecamatan Long ikis

Tanaman biowo banyak ditemukan diarea perkebunan warga yang berada disekitar sungai Lembok

Bukti bahwa warga disekitar sungai Lembok mempunyai tradisi adat budaya yang masih melekat




Perahu-perahu bermesin milik penduduk sekitar yang sedang tambat di tepian sungai Lembok.

Taruk Paku. tanamn ini dapat dijumpai dibeberapa empat di tepi-tepi sungai Lembok. Lumayan buat sayur.

Nah, sepertinya semalam ada yang sedang mancing disini. Bara apinya pun masih terasa hangat.

Pada pinggiran sungai biasanya ada tanaman yang disebut teberaw. batang tanaman ini mirip tebu tapi tidak memiliki kandungan air seperti layaknya batang tebu pada umumnya. Tanaman ini sangat berguna untuk mempertahankan tanah ditepi-tepi sungai dari pengikisan arus air sungai.









Penampakan aliran sunagi Lembok. semakin ke hulu aliran airnya terlihat semakin dangkal.


Melihat beberapa manfaat kebaikan tersebut tak salah memang jika kita menyebutkan bahwa sungai itu sumber kehidupan. Sumber dimana kita bisa mendapatkan berbagai hal yang bisa menyokong kelangsungan hidup kita. Bisa kita bayangkan bagaimana jika penyebutan itu telah berubah menjadi sungai “sumber kematian”. Disanalah sumber dari berbagai hal yang buruk, mulai dari berbagai penyakit hingga kematian.
        Tulisan ini pun bukan bermaksud menghakimi mereka-mereka yang telah melakukan kesalahan seperti yang dijelaskan tadi. Namun disini kita bisa menyikapinya bersama-sama, apa yang harus diperbuat, bagaimana seharusnya dan lain sebagainya. Peran serta semua lapisan masyarakat sangat diperlukan disini, bukan hanya perindividu maupun golongan saja. Bukan hanya milik orang Paser saja, bukan pula tanggung jawab para orang tua saja dan bukan kewajiban bagi generasi muda saja, tapi semua punya peran masing-masing yang berhulu satu yakni untuk sungai Lembok yang lebih baik. ^_^

        Mari kita mulai membayar semua kebaikan yang sudah kita terima